Oleh: Agus Mariyanto
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia dewasa ini mengalami transformasi sosial secara revolusioner yang belum pernah dialami oleh umat manusia selama ini. Dimana-mana terjadi perubahan dalam pergaulan hidup manusia dari masyarakat yang statis tradisional menjadi suatu masyarakat yang terbuka karena pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.[1] Hubungan keluarga menjadi renggang dan bukan tidak mungkin terjadi perang antargenerasi. Munculnya rasa permisif di masyarakat sehingga untuk memenangkan perang antar generasi tersebut adalah melalui serangan budaya.[2] Transformasi dalam masyarakat tentunya mengubah pula bentuk-bentuk kekuasaan yang mempengaruhi atau mengatur tingkah laku manusia.
Ketika Barrack Huseein Obama, dalam usianya ang ke-47 tahun akhirnya memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat, publik ikut terhenyak. Bukan hanya karena Obama berkulit hitam dan pernah menjalani masa lkecil di Menteng Jakarta, serta mempunyai seorang ayah yang berasal dari Kenya, yang membuat publik terkesima, tetapi lebih karena Obama sebagaimana dikatakan oleh adiknya, Maya Soetoro, ”adalah sebuah mimpi yang mustahil di masa lampau”[3] Obama telah mencetak sejarah baru atas sejarah masa depan Amerika Serikat. Ia menang telak atas John McCain, dengan mengumpulkan lebih dari 52 persen popular vote, dan 338 Electoral Votes (364 termasuk North Carolina dan Indiana).[4] Bagaimanapun Obama adalah fenomena. Dan mungkin fenomena politik terbesar pada abad ke-21 ini.
Ketika Obama menang, ia menjadi pusat perhatian, sebagaimana ketika Soeharto wafat, Benazir Bhutto terbunuh, atau tatkala Vladimir Putin terpilih sebagai Man of The Year Majalah Time. Ketika mantan Presiden Soeharto Wafat, semua stasiun televisi dan media cetak berlomba-lomba memberitakan. Begitu juga yang terjadi ketika Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat semua ”berdesak-desakan” untuk membicarakan dan menyaksikan proses pemakaman serta treck record-nya. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang mengkhultuskan keberadaan Gus Dur. Muncul kontroversi tentang pemberian gelar pahlawan nasional dan sebagainya.
Semua tragedi sejarah dan ketika pengalaman telah menjadi sejarah, bahkan sejarah yang berulang, masuk akal jika kita dalami dan selami pelajarannya yang diberikan oleh jatuhnya presiden pertama, kedua, dan keempat Republik Indonesia. Kita mengambil pelajaran dari kelebihan dan keberhasilannya dan kita hargai. Kita mengambil pelajaran dari kegagalan, kealfaan, dan kesalahannya. Dalam konteks itu, patut kiranya juga dalam sikap kritis, kita berpegang pada kebijakan mikul dhuwur, mendhem jero, tetap menghormati secara sepantasnya dan tetap menghargai kebaikan dan keberhasilannya.[5]
Pada kesempatan ini, penulis tidak sedang atau ingin membahas tentang kontroversi dari Obama, Soekarno, Soeharto, Benazir Bhutto, atau pun Gus Dur. Tetapi dari fakta dan fenomena sejarah peradaban tersebut, bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah ruang gerak dan sistem yang menjadi tempat pergulatan miliaran manusia di muka bumi ini. Banyak pakar atau alah yang melakukan penelitian dan membangun konsepsi tentang teori, praktek dan gaya kepemimpinan. Ada kurang lebih 3000 penelitian dan jurnal tentang kepemimpinan dan lebih dari 300 definisi tentang kepemimpinan.[6]
Sedangkan kekuasaan sudah ramai diperbincangkan oleh manusia sejak zaman Yunani Kuno hingga zaman kontemporer. Kekuasaan merupakan suatu tema yang tidak dapat dipisahkan dari core kepemimpinan. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang logam. Kekuasaan diraih dan dipraktikkan atau dijalankan dengan banyak cara. Pergulatan kekuasaan selalu terjadi dalam masyarakat madani (civil society). Praktik-praktik pengelolaan kekuasaan secara ideal ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran dan harmoni sosial. Namun, sebagian besar sejarah membuktikan dengan fakta yang berkebalikan. Yaitu kekuasaan menjadi tirani bagi masyarakat dan memunculkan konflik dan peperangan dimana-mana.
Disinilah pentingnya bagi kita untuk mengetahui tentang hakikat dari kepemimpinan dan kekuasaan. Salah dalam memaknainya, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan kepemimpinan. Sehingga tidak banyak pemimpin atau pengusa yang berakhir dengan tragis dan kefatalan.
Selain itu, dalam melaksanakan kekuasaan dan kepemimpinan perlu memahami sumber-sumber serta jenis kekuasaan yang dijalankan. Kekuasaan bagaikan pedang bermata dua dan itulah salah satu karakter dari kekuasaan tersebut. Kekuasaan juga memiliki kaitan erat dengan etika dan moral manusia. Meskipun pada kenyataannya aliran madzab rasialis pada era modern memandang bahwa moral adalah sesuatu yang terpisah dengan kekuasaan. Bahkan pendidikan juga merupakan bagian dalam pengelolaan kekuasaan dan kepemimpinan. Dan permasalahan tersebut dibahasa dalam judul ”Kukuasaan dan Kepemimpinan” dengan menggunakan metode studi pustaka.
B. Permasalahan
Dalam makalah ini dibahas tentang permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kekuasaan dan kepemimpinan. Secara terperinci diulas tentang Konsep Kepemimpinan, Gaya Kepemimpinan, Konsep Kekuasaan, Sumer-Sumber Kekuasaan, Jenis-Jenis Kekuasaan, Karakteristik Kekuasaan, Kekuasaan Dan Moral, Kekuasaan dan Godaan, serta Cara Mengelola Kekuasaan.
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini secara garis besar mempunyai beberapa tujuan, yaitu :
1) Untuk mengetahui tentang konsep dan gaya kepemimpinan.
2) Untuk mengetahui Konsep Kekuasaan, Sumer-Sumber Kekuasaan, Jenis-Jenis Kekuasaan, Karakteristik Kekuasaan, Kekuasaan Dan Moral, Kekuasaan dan Godaan, serta Cara Mengelola Kekuasaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan
1. Konsep Kepemimpinan
Untuk sekedar memberikan suatu pandangan teoritis tentang teori kepemimpinan tidak salahnya jika dikutip tentang kepemimpinan dari Ralph. M. Stogdill yang telah mengadakan survey tentang teori kepemimpinan dalam bukunya Hand Book of Leadership. Dari buku tersebut akan dikutip mengenai pengertian teori kepemimpinan, tipe,dan fungsi kepemimpinan. Walaupun factor sosio-budaya turut menentukan sikap dari seorang pemimpin yang dapat merupakan sikap cirri khas dari suatu bangsa, namun ciri-ciri kepemimpinan secara fundamental adalah universal. Dalam buku Hand book of leadership yang ditulis oleh Ralph.M. Stodgill dengan judul “ a survey of theory and research” mengenai pemimpin dan kepemimpinan diungkapkan terlebih dahulu pengertian atau defenisi kepemimpinan sebagai berikut :
Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan tampaknya lebih merupakan konsep daripada pengalaman.banyaknya konsep definisi kepemimpinan yang berbeda hamper sebanyak jumlah orang yang telah berusaha untuk mendefinisikannya. Sekalipun demikian terdapat banyak kesamaan diantara definisi tersebut yang memungkinkan adanya skema klasifikasi secara kasar.
Kepemimpinan sebagai focus proses kelompok
Cooley (1902) menyatakan bahwa pemimpin selalu merupakan inti dari tendensi dan dilain pihak, seluruh gerakan social bila diuji secara teliti akan terdiri atas pelbagai tendensi yang mempunyai inti tersebut.
Mumford (1906-1907) memandang bahwa kepemimpinan adalah keunggulan seseorang atau individu dalam kelompok, dalam proses mengontrol gejala-gejala social.
Mumford (1906-1907) memandang bahwa kepemimpinan adalah keunggulan seseorang atau individu dalam kelompok, dalam proses mengontrol gejala-gejala social.
Menurut Bernard (1927) pemimoin dipengaruhi oleh kebutuhan dan harapan dari para anggota kelompok. Pada gilirannya ia memusatkan perhatian dan pelepasan energi anggota kelompok kearah yang diinginkan
Smith (1934) menguraikan berdasarkan cirri-ciri kepribadian pemimpin, yaitu bahwa kelompok social yang mencerminkan kesatuannya dalam aktivitas yang saling berhubungan selalu terdiri atas dua hal; pusat aktivitas dan individu yang bertindak sesuai pusat tersebut
Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, akan tetapi boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi tinggi di lapangan.
Smith (1934) menguraikan berdasarkan cirri-ciri kepribadian pemimpin, yaitu bahwa kelompok social yang mencerminkan kesatuannya dalam aktivitas yang saling berhubungan selalu terdiri atas dua hal; pusat aktivitas dan individu yang bertindak sesuai pusat tersebut
Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, akan tetapi boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi tinggi di lapangan.
Krech dan Crutcfield (1984) memandang bahwa dengan kebaikan dari posisinya yang khusus dalam kelompok ia berperan sebagai agen primer untuk penentuan struktur kelompok,tujuan kelompok, dan aktivitas kelompok
Knickerbockers (1948) mengikuti alur pikiran yang nampaknya menempatkan dirinya dalam aliran teori pusat kelompok.
Knickerbockers (1948) mengikuti alur pikiran yang nampaknya menempatkan dirinya dalam aliran teori pusat kelompok.
Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya
Bowden (1926) mempersamakan kepemimpinan dengan kekuatan kepribadian. Bingham ( 1927) mendefinisikan pemimpin sebagai sebagai seorang individu yang memiliki sifat-sifat kepribadian dan karakter yang diinginkan. Bernard (1926) seorang individu yang lebih efisien dalam melontarkan rangsangan psikososial terhadap orang lain dan secara efektif mensyaratkan respon secara kolektif dapat disebut sebagai pemimpin. Tead (1929) melihat kepemimpinan sebagai perpaduan dari berbagai sifat yang memungkinkan individu mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan tugas tertentu. Bogardus (1934) mendefinisikannya sebagai kepribadian yang tampil dalam kondisi kelompok.
Teori kepribadian cenderung memandang kepemimpinan sebagai akibat pengaruh satu arah. Mengingat bahwa pemimpin mungkin memiliki kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan para pengikutnya, biasanya mereka (ahli teori kepribadian) lupa menyinggung karakteristik timbal balik dan interaktif dari situasi kepemimpinan.
Teori kepribadian cenderung memandang kepemimpinan sebagai akibat pengaruh satu arah. Mengingat bahwa pemimpin mungkin memiliki kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan para pengikutnya, biasanya mereka (ahli teori kepribadian) lupa menyinggung karakteristik timbal balik dan interaktif dari situasi kepemimpinan.
Kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain
Munson (1921) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan meng-handle orang lain untuk memperoleh hasil maksimal dengan friksi sesedikit mungkin dan kerja sama yang besar. Allport (1924) kepemimpina merupakan kontak langsung atau tatap muka antara pemimpin dan pengikut yang merupakan social control personal. Moore (1927) melaporkan hasil konferensi dimana Stuart mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan yang memberi kesan tentang keinginan pemimpin, sehingga dapat menimbulkan kepatuhan dan rasa hormat. Philips (1939) kepemimpinan adalah pembebanan, pemeliharaan, dan pengarahan dari kesatuan moral untuk mencapai tujuan akhir. Allen (1958) memandang pemimpin sebagai seorang yang membimbing dan mengarahkan orang lain,sedangkan Bennis (1959) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses dimana seseorang mempengaruhi bawahan untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan.
Para ahli teori pengaruh sukarela, mungkin lebih dari para ahli teori kepribadian, cenderung memandang kepemimpinan sebagai suatu pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung. Pengabdian para pengikut dan kelompok ini ditentang oleh para ahli yang mencoba menghilangkan definisi tentang kemungkinan adanya legitimasi mengenai konsepsi kepemimpinan yang otoritas.
Kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh
Nash (1929) menyatakan bahwa kepemimpinan secara tidak langsung menyatakan adanya pengaruh yang mengubah tingkah laku orang. Tead (1935) mendefinisikan sebagai aktifitas mempengaruhi orang untuk bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan bersama. Stodgill (1950) menyebutnya sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisasi untuk pencapaian tujuan. Menurut Bass (1961) usaha individu untuk mengubah tingkah laku orang lain dapat dikatakan pemimpin.
Konsep pengaruh mengingatkan terdapatnya perbedaan tingkah laku individu yang mengakibatkan atau mempengaruhi aktivitas kelompok. Didalamnya terdapat hubungan timbal balik antara pemimpin dan pengikut akan tetapi tidak selalu harus dicirikan oleh adanya dominasi, control, dan pemaksaan pengaruh oleh pemimpin.
Konsep pengaruh mengingatkan terdapatnya perbedaan tingkah laku individu yang mengakibatkan atau mempengaruhi aktivitas kelompok. Didalamnya terdapat hubungan timbal balik antara pemimpin dan pengikut akan tetapi tidak selalu harus dicirikan oleh adanya dominasi, control, dan pemaksaan pengaruh oleh pemimpin.
Kepemimpinan sebagai tindakan dan tingkah laku
Menurut Carter (1953), tingkah laku kepemimpinan menandakan adanya keahlian tertentu, sehingga dapat dikatakan sebagai tingkah laku kepemimpinan. Shartle (1956) mendefinisikan tingkah laku kepemimpinan sebagai tingkah yang akan menghasilakan tindakan orang lain searah dengan keinginannya. Hemphill (1949) menyatakan bahwa kepemimpinan dapat diartikan sebagai tingkah laku seorang individu untuk mengarahkan kelompok. Fiedler (1967) menawarkan definisi yang hampir sama sebagai berikut; tingkah laku kepemimpinan dapat diartikan pemimpinan mengkoordinasikan kelompok.
Para ahli teori tingkah laku tertarik untuk membuat suatu definisi yang berdasarkan observasi, deskripsi, pengukuran, dan pengujian yang obyektif.
Para ahli teori tingkah laku tertarik untuk membuat suatu definisi yang berdasarkan observasi, deskripsi, pengukuran, dan pengujian yang obyektif.
Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi
Schenk (1928)menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengelolaan manusia melalui persuasi dan inspirasi daripada melalui pemaksaan langsung. Cleeton dan Mason (1934) kepemimpinan mengindikasikan adanya kemampuan mempengaruhi manusia dan menghasilkan rasa aman melalui pendekatan secara emosional daripada melalui penggunaan otoriter. Copeland (1942) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah seni berhubungan dengan orang lain,merupakan seni mempengaruhi orang melalui persuasi dengan contoh konkrit.
Definisi kepemimpinan sebagai bentuk persuasi cenderung banyak diminati oleh para mahasiswa, para ahli teori militer, dan industri yang bertentangan dengan konsep otoriter. Kenyataan memperlihatkan bahwa persuasi merupakan kekuatan untuk mempertajam harapan dan keyakinan,karenanya akan tampil dan lebih diperhatikan dalam penelitian mengenai kepemimpinan.
Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan
French (1956) mendefinisikan kepemimpinan dalam kerangka pembedaan hubungan kekuasaan antara anggota dan kelompok. Gerth dan Molls (1953) kepemimpinan dipandang secara umum adalah hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin dimana pemimpin lebih banyak mempengaruhi daripada dipengaruhi karena sebagai suatu hubungan kekuasaan.
Kekuasaan dipandang sebagai suatu bentuk dari dari hubungan saling pengaruh-mempengaruhi. Dalam hal ini dapat diobservasi bahwa pemimpin cenderung untuk mentransformasikan leadership opportunity ke dalam hubungan yang terbuka.
Kekuasaan dipandang sebagai suatu bentuk dari dari hubungan saling pengaruh-mempengaruhi. Dalam hal ini dapat diobservasi bahwa pemimpin cenderung untuk mentransformasikan leadership opportunity ke dalam hubungan yang terbuka.
Kepemimpinan sebagai alat mencapai tujuan
Menurut Cowley (1928)pemimpin adalah individu yang memiliki program/ rencana dan bersama kelompok bergerak mencapai tujuan dengan cara yang pasti. Knickerbocker (1948)berpendapat fungsional kepemimpinan adalah bila pemimpin dipersepsi oleh para anggota kelompok sebagai pengendali dalam pemuasan kebutuhan mereka. R. C. Davis (1942) memandang kepemimpinan sebagai kekuatan dinamik yang merangsang motivasi dan koordinasi organisasi dalam mencapai tujuan.
Definisi-definisi tersebut memandang kepemimpinan yang mempunyai nilai instrumental. Kepemimpinan disini menghasilkan peran-peran tertentu yang harus dimainkan dan dapat mempersatukan kelomppok dalam rangka mencapai tujuan bersama. Jadi, kepemimpinan disefinisikan sebagai suatu fungsi yang sangat penting dalam suatu kelompok.
Kepemimpinan sebagai pembedaan peran
Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi modern adalah perkembangan dari teori peran. Setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu, begitu pula halnya pada lembaga-lembaga dan organisasi. Dalam setiap posisi, individu diharapkan memainkan peran tertentu. Kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran.
Kebanyakan penelitian tentang kemunculan dan diferensiasi peran banyak berkaitan dengan masalah kepemimpinan, seperti yang dinyatakan sherif (1956), bahwa kepemimpinan merupakan peranan didalam suatu skema hubungan dan ditentukan oleh harapan timbal balik antara pemimpin dan anggota. Jadi, teori dan penelitian yang menyinggung masalah bantuan konfirmasi dan struktur dari harapan merupakan juga masalah kepemimpinan.
Kebanyakan penelitian tentang kemunculan dan diferensiasi peran banyak berkaitan dengan masalah kepemimpinan, seperti yang dinyatakan sherif (1956), bahwa kepemimpinan merupakan peranan didalam suatu skema hubungan dan ditentukan oleh harapan timbal balik antara pemimpin dan anggota. Jadi, teori dan penelitian yang menyinggung masalah bantuan konfirmasi dan struktur dari harapan merupakan juga masalah kepemimpinan.
Kepemimpinan sebagai inisiasi struktur
Gouldner menyatakan, bahwa terdapat perbedaan antara stimulus yang di timbulkan oleh pengikut dan yang berasal dari pemimpin; hal ini merupakan kemungkinan bagin pembentukan tingkah laku kelompok. Homans (1950), mengidentifikasikan pemimpin kelompok sebagai anggota yang mengawali suatu interaksi .[7]
Kelompok penulis tersebut telah berusaha untuk mengidentifikasikan kepemimpinan berkenaan dengan variable yang menumbulkan diferensiasi dan pemeliharaan struktur peranan didalam kelompok. Dengan alasan demikian, definisi yang muncul lebih bersifat teoritik daripada konkrit dan deskriptif. Yang hendak dituju adalah mempertimbangkan proses dasar yang terlibat dalam memunculkan peran kepemimpinan.
2. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.
Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik.
Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s).
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.
Tipologi Kepemimpinan
Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
Tipe Militeristis. Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.
Tipe Karismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.
B. Kekuasaan
”Power is not an institution, and not a structure; neither is it a certain strength we are endwed with; it it the name that one attributes to a complex strategical situation in a particular society” Michel Foucault
Hampir semua orang membutuhkan kekuasaaan. Sekecil apapun, sadar atau tidak sadar, kekuasaaan selalu dicari, diperebutkan. Dengan kekuasaan, orang dapat memerintahkan kemauanya dan mengontrol kepatuhan orang lain. Dengan kekuasaaan perubahan dapat diciptakan sehingga pemimpin dapat mewujudkan visi dan obsesinya. Namun dengan kekuasaan pula orang dapat membangun dan sekaligus merusak. Kekuasaan mengandung paradoks, tergantung pada siapa yang akan melakukan .
1. Konsep Kekuasaan
Menurut Rosinski, kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan esensi manusia, yaitu sebagai karakteristik yang khas dalam posisinya terhadap alam. Menuruynya, keberadaan manusia merupakan suatu mahkluk yang spesifik karena meskipun dia dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan biologis, tetapi kehidupan manusia tidak seluruhnya diprogram oleh keberadaan biologisnya. Dalam pandangan ini manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (action). Dan manusia sebagai homo agent; yaitu manusia mempunyai self programming. Memalui action manusia dapat menentukan posisinya di alam ini. Dimana potensi-potensi ini membuat manusia dapat melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang lain, juga membuat manusia itu lain dari alamnya. Dengan pengertian yang luas, kekuasaan (power) merupakan kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lainnya serta manusia itu menentukan keterbatasaannya dalam menempatkan diri di dunia ini. Pandangan ini juga relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Poggi, bahwa kekuasaan merupakan sifat yang kritis dalam hubungan antara manusia dengan alam.
Dari sini dapat kita lihat, bahwa kekuasaan merupakan sifat yang hakiki dari manusia dalam arti menyimpan dan menggunakan energi yang ada dalam dirinya sendiri untuk membuat sesuatu yang berbeda dengan lingkungannya. Seseorang yan tunduk pada kekuasaan adalah dia yang memilih sendiri tindakannya untuk self determinition. Poggi mengikuti pemikiran Max Weber dalam terori kekuasaan sosial (social power). Dimana dikatakan Weber ” Powe is probability, weithin social relationship, of realizing one’s own will even against resistance, regardless of the basis on which this probability rest” Yaitu kekuasaan sebagai suatu kemungkinan dalam rangka hubungan-hubungan sosial untuk melaksanakan keinginan seseorang, sungguhpun terdapat tantangan, dan tidak tergantung pada dasar-dasar dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.[8]
Namun, secara umum Miriam Budiharjo menganggap kekuasaa sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan pelaku yang mepunyai kekuasaan.[9]
Tentang hal ini, mari kita telaah Sallie Westwood, dalam Power and The Sosial. Dalam karya tersebut, dia mencoba menelusuri geneologi gagasan tentang kekuasaan telah diperbincangkan di masa lampau samapi era mutikhir. Tema kekuasaan telah diperbincangkan oleh banyak filsuf masa lampau, mulai dari pemikir Yunani, para penyusun epos Mahabarata, Bharata Yuda, dan Ramayana di India, samapai Ibnu Khaldun. Di era modern, muncul para pemikir barat, seperti Thomas Hobbes (1588-1679), Lock (1632-1704), dan Niccolo Machiavelli (1469-1527). Ketiga pemikir terakhir memposisikan manusia sebagai rational action, maka konsepsi kekuasaan yang rasionallah yang mengemuka.[10]
Karena kekuasaan selalu terkait dengan konteks sosial, interaksi dan konfigurasi sosial dan politik yang menyertainya sangat penting. Maka pernyataan bahwa semua relasi sosial adalah relasi kekuasaan itu sendiri sangatlah relevan.
Dari penjabaran Sallie ada beberapa hal penting, yaitu: (1) kekuasaan dipandang secara zero sum (tumpas kelor) dengan penekanan pada dua kata kunci, yakni repression (represi) dan coercion. Konsep zero sum game ini mempertentangkan antara yang powerful dan powerless; (2) kekuasaan dipandang sebagai konsekuensi dari gagasan hegemoni dan kontra-hegemoni; (3) kekuasaan dipandang sebagai manipulasi dan strategi; (4) kekuasaan terkait dengan pengetahuan (knowledge), disiplin dan governance; (5) kekuasaan performative merupakan produk dari pelanggaran (transgressions) dan gangguan (disruptions).
Pendapat Robert A. Dahl, menjelaskan bahwa suppose there are only two people in a system, A and B. A influences B to the extent that the changes B’s actions or predispositions in some way. Dalam hal ini, si A memiliki kekuasaan atas B apabila si A dapat mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang yang sebenarnya tidak dikehendaki si B. Sebaliknya, apabila si A mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang juga sesuai dengan kehendak B, maka hal ini bukan kategori kekuasaan.
Dalam konteks ini, kamus Concise Dictionary of Politics meringkas definisi power tersebut, yaitu bahwa A berkuasa atas B apabila:
(1) A memiliki (effec) atas pilihan dan tindakan B
(2) A memiliki kapasitas untuk menggerakkan pilihan dan langkah B sesuai dengan kehendak A
(3) A memiliki kapasitas untuk mengesampingkan perlawanan B
(4) Hubungan A dan B sebagaimana disebut dalam (1), (2), dan (3) adalah bagian dari struktur sosial dan cenderung terus berlangsung.
Konsep kekuasaan menurut Antonio Gramsci (1891-1937), seorang Marxis dari Italia yang sangat terkenal dengan pemikirannya tentang kekuasaan yang ditulisnya pada waktu di penjara.[11] Masalah yang dikemukakan oleh Gramsci adalah mengapa dan bagaimana negara modern bisa mendapatkan konsensus dan kekuasaan dari masyarakat. Pemikiran yang mengemuka ini dikenal dengan sebutan hegemoni. Hegemoni adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu.[12]
2. Sumber-Sumber kekuasaan
Menurut catatan Wirawan dari para ahli, sumber kekuasaan berupa (1) posisi; (2) sifat personal; (3) keahlian; (4) peluang untuk mengontrol informasi. Sedangkan ahli lain membaginya dalam lima hal., yakni (1) legitimasi: otoritas, peraturan, undang-undang; (2) kontrol atas sumber keuangan dan informasi; (3) keahlian dan kritikalitas; (4) hubungan sosial: kontak, pertemanan, kekuasaan dalam angka; (5) karakteristik personal, seperti kharismatis, menarik.[13] Dan dari sumber-sumber ini muncul istilah kekuasaan personal, kekuasaan keahlian, dan kekuasaan peluang.
Sumber kekuasaan berbeda dengan basis kekuasaan atau basis of power. Yang dimaksud dengan basis kekuasaan adalah sumber hubungan kekuasaan antara pihak yang mempengaruhi (agen) dan yang dipengaruhi (target). Basis kekuasaan berupa (1) paksaan; (2) imbalan; (3) persuasi; dan (4) pengetahuan. Dan dari basis kekuasaan itu muncul istilah seperti kekuasaan paksa, kekuasaan imbalan, kekuasaan persuasi, dan kekuasaan pengetahuan.
Kemudian bagaimana mengelola sumber kekuasaan terjaga dan basis kekuasaan harus diperkuat. Bagaimana caranya? Yaitu: (1) upayakan untuk tetap mengontrol proses pengambilan keputusan; (2) berkoalisilah dengan kekuatan yang lebih besar sehingga memunculkan detterence effect alias efek daya tangkal; (3) perkuat institusi Anda, karena organisasi yang kuat dan sehat akan punya pengaruh nyata baik secara internal dan eksternal; (4) tetaplah etis dalam berpolitik.
3. Jenis-Jenis Kekuasaan
Berdasarkan sumber kekuasaan dan basis kekuasaan, maka terkait dengan tema-tema sosial, Sallie membagi kekuasaan dalam kekuasaan rasialis (racialised power), kekuasaan kelas (class and power); kekuasaan gender (enggendered power); kekuasaan seksualitas (power and sexuality); serta kekuasaan visual dan spasial (visual and spatial power). Klasifikasi Sallie ini dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tema-tema Sosial Kekuasaan | Keterangan |
Kekuasaan rasialis | Masalah ras senantiasa hadir, bahkan di dunia modern. Masalah yang sangat terkait dengan politik identitas ini memang merupakan isu primitif dan kuno di era modern, tetapi tidak ada jaminan bahwa konflik rasial atau paham rasialisme musnah sama sekali. |
Kekuasaan kelas | Walaupun sudah memperoleh banyak kritik dan revisi, konsepsi kelas ala Marx tetap menjadi salah satu pembahasan sentral dalam sosiologi. Konsep kelas tidak lagi seketat gambaran Marx yang meniscayakan pertarungan kelas dalam mewujudkan utopianya tentang masyarakat tanpa kelas. |
Kekuasaan gender | Kalangan feminis mengkritik keras kekuasaan patriakal (patriarchy power) yang didominasi sedemikian ketat oleh kaum laki-laki sehingga menimbulkan diskriminasi gender dan ketidakadilan dalam mengakses sumber-sumber kekuasaan. |
Kekuasaan Seksualitas | Merujuk pada Foucault, ada relasi kuasa dalam cara pandang atas seksualitas. Foucault mempertanyakan perkembangan sikap dan wacana masyarakat eropa tentang seksualitas selama tiga abad belakangan[14] Kajiannya sangat rumit dan tampaknya tak habis dibahas. |
Kekuasaan spasial | Dalam pandangan negara modern, lanskap kekuasaan mencakup wilayah (territories) dan perbatasan (borders) suatu bangsa. Walaupun globalisasi dibayangkan sebagai dunia tanpa batas, bagaimana pun kekusaan spasial masih sangat relevan. |
Kekuasaan Visual | Inilah kekuasaan dunia pencitraan di mana televisiual power menjadi sangat penting. Sejatinya, siapa yang menguasai alat pencitraan (media massa), dialah yang berkuasa. Kekuasaan visual dapat mengatasi kekuasaan spasial, karena televisual power tak mengenal batas wilayah. Apalagi dengan perkembangan internet. |
Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis kekuasaan (types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial (the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya teridentifikasi dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power, dan referent power[15].
Legitimate Power (kekuasaan sah), yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang pemimpin perusahaan terhadap karyawannya.[16]
Coercive Power (kekuasaan paksa), yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negatif yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subyektif lainnya.[17]
Reward Power (kekuasaan penghargaan), adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang, dan sebagainya.[18]
Expert Power (kekuasaan kepakaran), yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya, dan akan hilang apabila sudah tidak memerlukannya. Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power atau legitimate power.
Referent Power (kekuasaan rujukan) adalah kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah, apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya.[19]
4. Karakteristik Kekuasaan
Sebagaimana yang pernah disinggung sebelumnya bahwa kekuasaan bagaikan pedang bermata dua. Apakah itu salah satu dari karakteristik atau bahkan watak dasar kekuasaan?
Kekuasaan sesunggunya netral. Namun, ia bisa dipakai untuk kebaikan dan kesejahteraan atau sebaliknya disalahgunakan alias diselewengkan untuk kepentingan si pemegang kekuasaan. Menurut Wirawan, kekuasaan memiliki bebrapa karakteristik. Pertama, kekuasaan merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, kekuasaan merupakan milik interaksi sosial, bukan milik individu. Ketiga, pemegang kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunakannya.
Mengapa Kekuasaan itu abstrak?
Kekuasaan bukan sejenis benda yang bisa diraba atau dicium, tetapi hanya bisa dirasakan pengaruh dan dampaknya. Kalau tidak ditegaskan, kekuasaan bersifat illegible, tidak kelihatan. Maka instansi tertentu membutuhkan seragam yang mencantumkan tanda pangkat. Contohnya, polisi dan tentara. Beda pangkat, beda pula kewenangannya.
Dampak kekuasaan juga dapat dirasakan dengan jelas. Keputusan hakim, misalnya, berdampak langsung atau tidak langsung pada tervonis dan yang terkait dengannya. Begitu pula dampak kebijakan pemerintah. Meskipun tidak paham tentang proses pengambilan keputusan sebuah kebijakan politik, rakyat bahwa bisa merasakan dampaknya, yaitu apakah menyejahterakan atau tidak.
Kekuasaan adalah milik interaksi sosial
Kekuasaan cenderung identik dengan social power, maka ia harus berada dalam suatu sistem sosial. Harus ada komunitas sosial. Oleh karena itu, kekuasaan ada dimana-mana, di sekolah, di rumah, di kantor, di pasar, di pemerintahan, dan sebagainya. Karena harus ada sistem sosial, itu berarti melibatkan banyak orang.
Interaksi sosial telah menjadi kata kunci tersendiri. Dalam teori komunikasi sosial, ada komunikator dan komunikan, ada subjek dan sasarannya. Kemudian terjadi proses timbal-balik alias interaksi. Dalam proses interaksi, tentu ada dialog, ada tawar-menawar, termasuk yang erkait dengan implementasi kekuasaan.
C. Kuasa dan Moral
Sejak semula kekuasaan selalu berwajah dua: sekaligus mempesona dan menakutkan. Seperti menurut fenomenologi agama, hanya Yang Illahi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa legitimasi kekuasaan yang paling kuno adalah legitimasi religious. Kekuasaan dihayati dan diterima sebagai sesuatu dari alam gaib. Raja dipandang sebagai pengejawantahaan Yang Ilahi, sebagai wadah yang dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan halus alam semesta, yang daripadanya mengalirka ketentraman, kesejahteraan, dan keadilan kepada rakyat disekeliling. Implikasi terpenting legitimasi religious ialah bahwa penguasa dalam menjalankan kekuasaannya berada diatas penialaian moral.[20]
Tiga tokoh yang secara konsekuen dan tajam meletakkan koordinat-koordinat antara kuasa dan moral yaitu: Thomas Aquinus (1225-1274) menggantungkan legitimasi kekuasaan Negara pada kesesuaiannya dengan tuntutan-tuntutan normative fundamental. Thomas Hobbes (1588-1679) mengambil posisi perlawanan: melalui hukum yang ditetapkannya, kekuasan memastikan apa yang adil dan apa yang tidak. Sedangkan, Niccolo Machiavelli 91469-1527), di tengah, sama sekali menolak pertimbangan-pertimbangan tentang legitimasi dan menggantikannya dengan teknik pragmatis penanganan kekuasaan. Tiga posisi itu sekaligus berlawanan satu sama laid an berkesinambungan dalam satu medan permsalahan etika kekuasaan.
Thomas Aquinas secra radikal menuntut legitimasi etis penggunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan hanyalah suatu kenyataan fisik dan sosial, tetapi tidak memuat sesuatu wewenang. Bagi Thomas tah ada seorangpun yang secara asasi mempunyai wewenang atas manusia lain. Yang berwenang adalah sang pencipta. Pendasaran segenap kekuasaan yang sah pada legitimasi etis berdasarkan kodrat dan martabat manusia sebagai mahkluk yang bebas merupakan sumbangan Thomas Aquinus yang hakiki pada etika politik.
Machiavelli sering disalah pahami, seakan-akan ia seorang pemikir yang sinis, yang hanya berkepentingan untuk mengabadikan kekuasaan para pemimpin. Sebenarnya Machiavelli mengagumi Republik Roma kuno yang keras dan tinggi dalam tuntutan etika politik. Ia menderita karena ketidakberdayaan politik Italia yang sebagaian dikuasi oleh jerman, Prancis, dan Spanyol, dan untuk sebagaian terpecah belah kedalam Negara-negara kota. Ia merindukan suatu Negara yang sehat, kuat, dan tidak korup. Ia mengharapkan semangat tak mau kalah dan menuntut kesigapan militer para warga Negara.
Tetapi agar tujuan-tujuan itu tercapai, sang pemimpin harus dulu mengamankan kekuasaannya. Dan oleh karena itu, Machiavelli membatasi diri pada pertanyaan tentang teknik perebutan dan pertahanan kekuasaan oleh sang raja. Hal itu memang dilakukan dengan sinisme yang ekstrem. Baginya politik dan moral merupakan dua hal yang berbeda. Menurutnya, dalam urusan politik perhatian terhadap norma-norma moral tidak pada tempatnya. Yang diperhitungkan hanyalah sukses. Machiavelli hanya mengenal satu kaedah etika politik: yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan pemimpin. Segala apa yang melayani tujuan itu harus dibenarkan.
Menurut Machiavelli, tidak ada manfaatnya kalau kita mempersoalkan legitimasi moral kekuasaan. Yang menentukan ialah teknik untuk merebut dan untuk mempertahankannya. Sudah cukuplah, apabila pemimpin menunjukkan diri sebagai orang yang tegas, brutal, dan itu ditekankan olehnya. Namun Machiavelli tidak melihat duah: pertama, bahwa kekuasaan yang hanya berdasarkan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya rapuh adanya. Kedua, bahwa stabilitas kekuasaan tergantung dari apakah kekuasaan dipandang sebagai sah atau tidak oleh masyarakat.
Sedangan Thomas Hobbes menempatkan pertanyaan legitimasi kekuasaan pada pusat pemikirannya. Tetapi bertentangan dengan Thomas Aquinas yang mendudukkan kekuasaan terhadap tuntutan legitimasi moral melalui hukum kodrat, hobbes menundukkan hukum moral di bawah kekuasaan. Gagasan Thomas hobbes berpijak pada dua hal, yaitu (1) Negara harus kuat tanpa tanding sehingga dapat memastikan, seperlunya memaksakan, ketaatan para anggota masyarakat terhadap peraturan-peraturannya, dan (2) Negara harus menetapkan suatu tatanan hukum, tentangnya berlaku, bahwa setiap orang akan menaatinya, akan dihukum mati. Dengan mendasarkan Negara semata-mata pada rasa takut para warga negara, hobbes justru kehilangan apa yang dicarinya yaitu stabilitas.
Akan tetapi cara berpikir Hobbes masih tetap merupakan godaan para pemegang kekuasaan. Dalam kenyataan negara hukum formal ala Hobbes bukanlah suatu negara hukum, melainkan Negara kekuasaan. Hobbes menambahkan bahwa perlunya suatu system hukum yang efektif di tangan penguasa mutlak untuk menegakkan ketertiban sosial. Rasa takut perlu dilestarikan, kambing hitam perlu dipelihara untuk pada saatnya nanti dikorbankan, dan ancaman hukuman mati dikenakan kepada mereka yang melanggar undang-undang antisubversi. Dan karena penguasa Negara kekuasaan itu tidak memiliki legitimasi formal, akhirnya ia terpasak akan menggunakan cara-cara yang ditawarkan Machiavelli kepada pemimpin kota Firenze. Ternyata kekuasaan itu stabil apabila sah secara moral. Dan bila anda telah dapat mengendalikan kuasa pikir, maka anda dapat menemukan kuasa tanpa batas.[21]
D. Kekuasaan dan Godaan
Bicara soal godaan kekuasaan, rasanya memang benar bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan alias korup. Seperti yang telah di kemukakan oleh Lord Acton ” Power tends to corrupt, Absolute power corrupt absolutely”
Kekuasaan memang memang bisa menggoda pemegangnya. Belakangan sering kita dikagetkan dengan penangkapan polisi yang diduga melakukan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita prihatin dan tidak menyangka bahwa polisi idola kita bahkan terlibat dalam kasus korupsi kelas tinggi. Di era informasi digital ini, pemberitaan mengenai hal itu cepat merebak dan bertubi-tubi. Godaan memang selalu terbuka bagi siapa saja yang punya kesempatan dan kekuasaan. Para politisi yang punya jabatan formal baik di legislatif, pemerintahan, maupun lembaga negara lainnya, pasti merasakan betapa godaan dan politisi penikmat godaan.
Sejarah mencatat, misalnya, Presiden Bill Clinton pernah terlibat skandal Monicagate yang membawanya keproses impeachment. Clinton memang selamat dari pemakzulan, tetapi publik tidak akan melupakan begitu saja affir-nya dengan perempuan bernama Monica Lewinski yang bukan istrinya itu. Dalam sejarah kepresidenan Amerika, sesungguhnya itu bukanlah peristiwa perselingkuhan pertama. Dalam buku karangan Jon Feda dan Nico Ermann, Amrica Undercover, misalnya diungkapkan sejumlah kisah asmara perselingkuhan bebrapa presiden, seperti Thomas Jefferson, James Buchanan. Warren Gamaliel Harding, Franklin Delano Roosevelt. Dwight Eisenhower, J. F Kennedy, Lyndon B. Johnson, Bill Clinton, hingga G. W. Bush[22]
Sebagaian besar godaan dari kekuasaan adalah perempuan dan uang. Seseorang yang sudah lama memegang kekuasaan akan jatuh dengan kedua hal tersebut. Sejarah dan perdaban telah mencatat mulai dari zaman kuno hingga zaman global sekarang.
E. Pra-Berkuasa, Saat Berkuasa, dan Pasca Berkuasa
Dalam kekuasaan kita harus mampu mengelola kekuasaan itu sendiri. Mengelola kekuasaan mengandung pengertian bagaimana meraih, mempertahankan, memanfaatkan, dan mengakhiri kekuasaan dengan sebaik-baiknya. Seni mengelola kekuasaan terkait dengan fase-fase kekuasaan itu sendiri. Pemimpin yang langgeng adalah yang mampu mewariskan sistem kekuasaan yang kokoh pada penerusnya. Dengan demikian harus ada proses regenerasi yang baik. Regenerasi itu sunatullah. Tanpa regenerasi tidak akan ada kesinambungan kekuasaan.
Sederhananya, ada tiga tahap yang perlu memperoleh perhatian khusus: tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Praberkuasa
Pertanyaan yang hadir pada konteks ini adalah apa yang mesti dilakukan sebelum berkuasa? Kekuasaan perlu diraih dan bahkan direbut. Namun, caranya perlu kita perhatikan. Caranya harus wajar dan baik alias tidak menghalalkan segala cara. Orang yang bermadzab realis biasanya meminggirkan dulu etika. Yang penting, bagaimana dia bisa berkuasa, apa pun jalan dan caranya.
Dalam pandangan madzab realis, pada hakikatnya, manusia suka berkonflik dan berperang. Dunia ini selalu dalam keadaan anarki atau ”perang” Segala aturan main tidak akan efektif, kecuali pihak-pihak yang unggul dalam kompetisi yang sarat dengan kepentingan berpengaruh dan mengatur. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk eksis dan survive.
Namun, dapat dibayangkan bagaimana kalau semua kekuasaan diraih dengan mengabaikan etika? Sejarah kekuasaan manusia memang identik dengan peperangan. Dalam Al Qur’an, misalnya, ada satu drama yang menegaskan betapa malaikat protes kepada Tuhan yang hendak menciptakan manusia di muka bumi. Mengapa Tuhan menciptakan manusia di muka bumi, padahal makhluk ini suka membuat kerusakan dan suka berperang satu sama lainnya.[23]
Hal-hal yang harus dilakukan pada prakekuasaan adalah terkait dengan realitas objektif internal dan eksternal seseorang atau sekelompok orang yang ingin meraih kekuasaan. Realitas internal terkait dengan seberapa besar modal yang dimilikinya, seberapa besar kapasitas dan kapabelitas yang dimilikinya, seberapa luas wawasan politiknya, seberapa besar dukungan dan jaringan yang dimilikinya, seberapa besar kemampuan menciptakan aliansi, seberapa besar kualitas pengenalan dirinya, seberapa luas liputan media terhadapnya, seberapa besar modal sosial dan modal intelektual yang dimiliki seseorang. Dan kunci dari semua ini adalah kesiapan dan persiapan. Dalam pengertian lain, untuk meraih kekuasaan seseorang harus mengusai ideologi, politik, organisasi, setrategi dan taktik (ideopolitorstratak).
Dalam kondisi yang otoritarian, kekuasaan diperoleh dari garis keturunan dan atau revolusi. Kekuasaan yang turun-temurun terjadi di negara monarki-absolut. Revolusi biasanya merupakan upaya untuk menumbangkan kekuasaan yang absolut. Kekuasaan yang direbut dengan senjata oleh kaum militer melalui kudeta. Sedangkan dalam kondisi normal dan wajar, kekuasaan diperebutkan melalui mekanisme demokrasi. Dan dalam alam demokrasi semua orang punya kesempatan yang sama.
Kekuasaan yang diraih dengan paksa (kudeta)
Kata ”kudeta” berasal dari bahasa Perancis, coup d’etat, yang artinya serangan atau pukulan kepada negara. Kudeta terjadi apabila ada sekelompok kecil tentara kritis, menyusup, mengambil alih, dan mengontrol pemerintahan. Kudeta merupakan tindakan ilegal. Sehingga Samuael P Hutington, mendefinisikan tiga jenis kudeta, yakni breakthrough coup d’etat, guardian coup d’etat, dan veto coup d’etat.
Breakthrough coup d’etat terjadi jika militer melancarkan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan tradisional dan menciptakan elit birokrasi baru. guardian coup d’etat terjadi tatkala militer melakukan kudeta dengan dalih menegakkan tatanan publik dan sejumlah alasan lain yang telah melekat pada alam pikiran militer dan dikaitkan dengan patriotisme. Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali Butto, misalnya, karena dituduh berada di belakang kerusuhan sipil, maka digulingkan oleh Panglima Jendral Muhammad Ziaulhaq pada tahun 1977. kemudian Jendral Pervez Musharraf menumbangkan Perdana Menteri Nawaz Sharif pada tahun 1999 dengan tuduhan yang sama. Sedangkan veto coup d’etat terjadi ketika militer memveto atau menolak eksistensi kelompok-kelompok tertentu dalam politik dan berkonfrontasi dengan kekuatan politik oposisi-sipil.
Guardian coup d’etat dan Veto coup d’etat dipimpin oleh Panglima Jendral sedangkan breakthrough coup d’etat dipimpin oleh para perwira menengah (dengan pangkat kolonel ke bawah)
2. Saat Berkuasa
Kekuasaan adalah amanah dan sarana untuk mewujudkan tujuan dan visi sang pemimpin. Kekuasaan bukan untuk kekuasaan atau segala-galanya. Kekuasaan dibatasi oleh sumberdaya dan waktu. Oleh karena itu, penting dipahami hukum atau sunatullah kekuasaan. Pemimpin atau penguasa harus tahu diri, memanfaatkan sebaik-baiknya masa kekuasaan dengan melahirkan prestasi dan kemajuan yang signifikan. Selain itu, harus tahu kapan berhenti. Disinilah pentingnya exist strategy yang baik alias husnul khotimah.
Beberapa hal yang harus dilakukan saat berkuasa, yaitu:
1) Optimalisasi kekuasaan
Optimalisasi dilakukan dalam hal perwujudan visi dan misi, bukan dalam hal mengeruk sumber daya dan aset organisasi atau negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Kuncinya adalah memanfaatkan kekuasaan untuk secara konsisten mengimplementasikan visi dan misi.
2) Merawat dukungan
Kekuasaan tanpa dukungan akan rapuh. Namun, jangan lakukan hal ini secara tidak wajar. Jangan membuat blunder, jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Mesin kekuasaan memang harus bergerak dan aman bagi penguasa, tetapi harus wajar dan dijalankan dengan bertanggung jawab sehingga publik akan mengapresiasi.
3) Belajar dari banyak tokoh yang jatuh kekuasaannya.
Ketika berkuasa jangan adigang-adigung-adiguna, alias menyelewengkan kekuasaan dan harus berhubungan dengan hukum. Ingat, kekuasaan bukan tanpa batas. Semua dibatasi hukum. Penggunaan kekuasaan dengan logika aji mumpung sangat berbahaya.
4) Menerapkan exist strategy
Ini adalah soal bagaimana mengakhiri kekuasaan dengan seksama, tak meninggalkan kefatalan. Dalam posisi terjepit, hal ini tidaklah mudah. Pemimpin, kata CollinPowell harus mengetahui kapan harus mundur. Kadang-kadang mengundurkan diri merupakan tugas terbesar pemimpin. Di Indonesia kita dapat bercermin dari kasus Soekarno dan Soeharto.
3. Pasca-Berkuasa
Telah dikemukakan di depan bahwa pemimpin yang baik adalah tahu kapan saat lengser alias berhenti. Ia harus tahu betul mengenai sunatullah kekuasaan: kekuasaan itu bergulir.
Kekuasaan bukanlah segala-galanya. Jalur pengabdian pada masyarakat, bangsa dan negara tidak terbatas pada jalur politik. Jadilah ”empu” yang dinanti-nantikan nasihatnya. Pemimpin harus menjadi referensi bijak dan bapak bangsa. Sebagaimana dikatakan dalam petuah Jawa ini: ojo nggege, ojo rumongso biso, nanging biso ngerumangsani. Jangan merasa sebagai politisi yang sempurna, yang serba bisa, tetapi juga bisa merasa atau tahu diri.
Bagaimana supaya orang tidak terjangkit post-power syndrome?
Dalam kaitan ini, tampaknya kita perlu menyimak kisah yang dipaparkan oleh psikoanalis Carl Gustav Jung berikut:
Seorang pengusaha Amerika yang semula penuh energi dan semangat berhasil dalam bisnisnya, berubah menjadi seonggok daging tak berdaya. Badaniah, ia merasa sakit-sakitan dan rohaniah ia merasa lemah. Karena setelah dia sukses membangun bisnis dengan segala keuletan dan kegigihan hingga berhasil. Namun, pada usia Empat puluh lima tahun ia beristirahat dengan niat untuk menikmati kehidupan. Tetapi baru seminggu melaksanakan niatnya, ia merasa resah, gelisah, dan dilanda kekhawatiran.
Kemudian Dia mendatangi seorang spesialis terkenal. Ternyata diagnosanya: fisik maupun mental sebenarnya tidak apa-apa, karena kekurangan kegiatan. Maka, sepulangnya dari berkonsultasi itu, ia berusaha untuk bergiat kembali dalam bisnisnya. Namun, dia malah mengalami keparahan dan tidak dapat lagi seperti masa lalunya ketika mempimpin bisnis[24]
Itulah gambaran post-power syndrome alais sindrom pasca-kekuasaan. Sehingga setelah orang berkuasa, maka pemimpin harus melakukan aktifitas dan kegiatan lain diluar jalur jabatan dan kekuasaan. Sebagai contoh seperti apa yang dilakukan oleh mantan Presiden Jimmy Charter. Ia mendirikan lembaga sosial dan demokratisasi.
F. Kekuasaan dalam Pendidikan
Sesudah sejak tahun 60-an Bereday mengemukakan mengenai krisis pendidikan di dunia karena meledaknya tuntutan untuk memperoleh pendidikan dari negara-negara yang baru merdeka. Pengamatan seorang ahli sosiologi dan pendidikan sebelum PD II memaparkan bahwa pendidikan akan merupakan dinamit dalam revolusi kemerdekaan dari negara-negara terjajah. Dewasa ini pendidikan di negara-negara berkembang mengalami revolusi. Bukan hanya pendidikan merupakan kewajiban dari pemerintah yang diakui sebagai salah satu hak asasi manusia tetapi telah merupakan suatu tuntutan dari setiap negara modern. Kewajiban belajar telah merupakan suatu keputusan bersama umat manusia (education for all)[25] dan tuntutan tersebut bukan hanya merupakan tuntutan formal, tetapi juga tuntutan perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut.
Bahkan, berbagai perubahan di dunia dipelopori oleh perubahan dari lingkungan pendidikan formal, seperti pemberontakan mahasiswa Prancis tahun 1968 yang mengubah kehidupan politk, sosial, bahkan kebudayaan dari masayarakat Prancis. Di Indonesia perjuangan kemerdekaan yang dimulai oleh kaum terpelajar pada tahun 1908 hingga hadirnya kemerdekaan pada tahun 1945. kita mengenal dengan kepeloporan mahasiswa yang telah merobek-robek kekuatan diktator, baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Gerakan pembaharuan mahasiswa telah merubah wajah negara dari totaliter menuju demokratis. Dalam bidang pendidikan nonformal kita melihat perubahan wajah dari bentuknya sebagai kursur-kursus yang berdiri sendiri menjadi lembaga-lembaga pelatihan yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan tenaga kerja terampil.
Terdapat kaitan yang erat antara kekuasaan dan pendidikan. Kekuasaan mempunyai tempat dalam ruang dan proses pendidikan. Justru karena adanya kekuasaan itulah terjadi proses pendidikan. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian.
Pengertian kekuasaan dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan sebagaiman kita lihat sehari-hari. Kekuasaan di dalam pendidikan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu 1) kekuasaan yang transformatis; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan transformatif tujuannya ialah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi adalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif.
Sedangkan proses kekuasan sebagai transmitif terjadi proses tranmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan itu sendiri. Orientasi kekuasan ini lebih bersifat orientasi legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat robotik karena sekedar menerima atau situangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang bersangkutan. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai proses sistem bank (banking system). Fakta ini didukung dengan keberadaan Sistem Pendidikan Nasional yang kita miliki dengan berbagai intervensi dan rekayasa yang terjadi. Dan yang ada adalah bagaimana kekuasaan dapat dilanggengkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan pemimpin dan kekuasaan adalah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam dengan asinnya. Dua-duanya tak terpisahkan. Kepemimpinan yang efektif (effective leadership) terealisasi pada saat seorang pemimpin dengan kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Ketika kekuasaan ternyata bisa timbul tidak hanya dari satu sumber, kepemimpinan yang efektif bisa dianalogikan sebagai movement untuk memanfaatkan genesis (asal usul) kekuasaan, dan menerapkannya pada tempat yang tepat.
Refleksi dari kepemimpinan yang efektif, bertanggungjawab, dan terbalutnya hubungan sinergis antara pemimpin dengan yang dipimpin, adalah makna filosofis dari nasehat Rasulullah SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab terhadap pimpinannya, seorang Amir (kepala negara) adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab terhadap rakyatnya ….” (HR Bukhari & Muslim)
Kekuasaan sering disalahgunakan, sehingga karakteristinya adalah paradoks. Kekuasaan sesuatu yang menakjubkan sekaligus sesuatu yang menakutkan. Sudah banyak contoh pemimpin-pemimpin dunia yang mengakhiri kekuasaannya dengan cara yang tragis dan fatal. Dimana hal ini dikenal dengan istilah tragedi sejarah. Dalam konteks itu, patut kiranya juga dalam sikap kritis, kita berpegang pada kebijakan mikul dhuwur, mendhem jero, tetap menghormati secara sepantasnya dan tetap menghargai kebaikan dan keberhasilannya terhadap para pemimpin kita dalam menjalankan kekuasaanya.
Daftar Pustaka
Al Qur’an
Alfian, M. Alfan, “Menjadi Pemimpin Politik” Jakarta: Kompas Gramedia, 2009.
Budiardjo Miriam,” Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan” dalam Miriam Budiardjo (ed), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984
Davidson, Alastair,. “Antonio Gramsci” dalam Peter Bailharz (ed), Teori-teori perubahan Sosial, 2002
Feda, Jon dan Nico Ermann, America Undercover, Kupas Tuntas Skandal Seks di Gedung Putih, Jakarta: Rajut Publisher, 2008.
Foucault, Michel Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Jakarta: YOI, 2008.
Gramsci, Antonio, ”Catatan-catatan Politik” (Terjemahan) Surabaya: Pustaka Promethea, 2001
Hutington Samuel P., dalam Benturan Antar Peradaban. 2005.
http/www.wikipedia.net/2006
Kartha Kusuma, Berlianan, ”Pemimpin Adiluhung; Geneologi Kepemimpinan”. Jakarta, 2007
Konferensi PBB Pertama Education for All diadakan di Yomtien, Thailand, 1990
Magnis Suseno. Franz Kuasa dan Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Majalah Tempo edisi 16 dan 17 November 2008, Maya Soetoro-Ng: Keberagaman Membentuk Wataknya”
Robbins, Anthony Unlimited Power (Kuasa Tak terbatas). Kharisma Publishing group, 2005
Satria Wahono Romi, Hubungan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 2008
Swantoro, P.,”Post Power Syndrome” dalam P. Swantoro, Masa Lalu Selalu Aktual, Jakarta: Kompas, 2007
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan; Manajemen pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Westwood Sallie, Power and The Social, London and New York: Routledge, 2002
Wirawan, Kapita Selekta Kepemimpinan, Pengantar untuk Praktek dan Penelitian, Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan UHAMKA, 2003.
[1] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Manajemen pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009., p141.
[2] Baca, Samuel P. Hutington, dalam Benturan Antar Peradaban. 2005.
[3] Lihat Majalah Tempo edisi 16 November 2008, Maya Soetoro-Ng: Keberagaman Membentuk Wataknya”
[4] Lihat juga, Majalah Time, edisi 17 November 2008.
[5] Lihat, Catatan Jakob Oetama, 2009.
[6] Baca, Berlianan Karta Kusuma ”Pemimpin Adiluhung; Geneologi Kepemimpinan”. Jakarta, 2007.
[7] Lihat http/www.wikipedia.net/2006
[8] Ibid, hal 136
[9] Baca Miriam Budiardjo,” Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan” dalam Miriam Budiardjo (ed), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
[10] Sallie Westwood, Power and The Social, London and New York: Routledge, 2002.
[11].Antonio Gramsci, Catatan-catatan Politik (Terjemahan) Surabaya: Pustaka Promethea, 2001
[12] Lihat, Alastair Davidson, “Antonio Gramsci” dalam Peter Bailharz (ed), Teori-teori perubahan Sosial, 2002
[13] Baca Wirawan, Kapita Selekta Kepemimpinan, Pengantar untuk Praktek dan Penelitian, Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan UHAMKA, 2003.
[14] Michel Foucault, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Jakarta: YOI, 2008.
[15] Baca Romi Satria Wahono, Hubungan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 2008
[16] Ibid, oc
[17] Ibid, 1
[18] Ibid, 2
[19] Ibid, 2
[20] Franz magnis Suseno. 2001. Kuasa dan Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, p1
[21] Anthony Robbins, Unlimited Power (Kuasa Tak terbatas). Kharisma Publishing group. 2005
[22] Jon Feda dan Nico Ermann, America Undercover, Kupas Tuntas Skandal Seks di Gedung Putih, Jakarta: Rajut Publisher, 2008.
[23] Lihat Q.S. Al Baqarah ayat 30 “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata, “ Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
[24] P. Swantoro, ”Post Power Syndrome” dalam P. Swantoro, Masa Lalu Selalu Aktual, Jakarta: Kompas, 2007, hal 27.
[25] Konferensi PBB Pertama Education for All diadakan di Yomtien, Thailand, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar