Oleh: Agus Mariyanto[2]
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No.20 Tahun 2003, Pasal 1)
Manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan diyakini sebagai alat pembebasan manusia dari belenggu persoalan kehidupan. Sejarah zaman telah membuktikan bahwa pendidikanlah yang selalu menjadi kendaraan sejarah dari peradaban ke peradaban. Perbedaannya adalah hanya pada proses pelembagaan dalam proses pendidikan. Dan negara yang memiliki kualitas pendidikan yang maju selalu tampil menjadi klibat bagi peradaban bangsa lain.
Seperti halnya, Indonesia menempuh kemerdekaanya dilalui dengan dua jalan yaitu perjuang bersenjata dan perjuangan pemikiran (kaum berpendidikan). Pendidikan juga yang menjadi alat kekuasaan bagi suatu rezim yang memahami makna dan arti kekuasaan. Pendidikan dioperasikan oleh kalangan intelektual organik demi menciptakan hegemoni dalam masyarakan (Antonio Gramci). Kekuasaan Orde Baru dapat bertengger di Nusantara selama lebih dari 32 tahun juga dikendalikan melalui pendidikan. Sehingga pendidikan adalah makhluk yang berkepala dua, yaitu sebagai alat pembebasan dan sekaligus sebagai alat penindasan. Dan seiring dengan ‘jebolnya’ rezim Orba oleh derasnya arus reformasi maka dunia pendidikan kita membawa paradigma baru baik dalam pengertiannya maupun dalam tata pelaksanaannya. Yang semula sentralistik menjadi lebih otonom (desentralistik) yang dipayungi oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nosional. Tujuan pendidikan yang ditetapkan adalah : "Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Sedangkan hakekat fungsi pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Pasal 2, yakni : "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa".
Pada kesempatan ini, Penulis tidak akan membahas tentang masa lalu dari pendidikan itu sendiri. Namun bagaimana ‘membaca’ dan mengontrol proses pelaksanaan otonomi pendidikan melalui penerapan School Base Management (Manajemen Berbasis Sekolah) dan mensinergikannya dengan agenda pembangunan daerah, yaitu di Kabupaten Musi Rawas.
Otonomi Pendidikan; Penerapan MBS
Pendidikan harus dikelola dengan metode dan manajemen serta dikendalikan dengan kepemimpinan yang efektif. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang melaksanakan pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur, dan terencana. Dengan kata lain, sekolah sebagai institusi pendidikan yang formal menyelenggarakan pendidikan secara terencana, sengaja, terarah, dan sistematis oleh para guru profesional dengan progam yang dituangkan kedalam kurukulum untuk jangka waktu tertentu dan diikuti oleh para peserta didik pada setiap jenjang pendidikan tertentu. Sekolah juga merupakan lembaga unit pelaksana teknis pendidikan, yang dipimpin oleh kepala sekolah. Sekolah melakukan pembinaan pendidikan untuk peserta didiknya didasarkan pada kepercayaan dan tuntutan lingkungan keluarga dan masyarakat yang tidak mampu atau tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan pendidikan dilingkungan masing-masing, oleh karena berbagai keterbatasan para orang tua anak
Manajemen berbasis sekolah dan masyarakat diartikan sebagai pengelolaan dalam pengembilan keputusan dari tingkat pusat sampai ke sekolah dengan melibatkan masyarakat (Fattah, 2000: 8),. Sedangankan menurut Mukhtar dan Suprapto (2003: 16), adalah keseluruhan proses merencanakan, mengorganisasikan, mengembangkan, dan mengendalikan seluruh pendukung , pengguna (stake holder) sekolah dan sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah secara khusus dan pendidikan secara umum. Tujuan manajeman berbasis sekolah dan masyarakat adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan mutu, dan relevansi pendidikan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat
Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai adanya kewenangan pengambilan keputusan yang lebih luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional.
Manajemen berbasis sekolah dan masyrakat juga merupakan suatu konsep pengelolaan sekolah yang berawal dari kemampuan inisiatif dan kreativitas sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan di sekolahnya, yang tidak tergantung petunjuk dari atas. Semua kegiatan pengambilan keputusan, perencanaan, dan kebijakan penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya berasal dari inisiatif sekolah itu sendiri, bukan dari lapis birokrasi di atasnya. Melalui konsep manajemen berbasis sekolah dan masyarakat kemandirian sekolah diwujudkan melalui upaya-upaya maksimal para guru, kepala sekolah dan partisipasi masyarakat yang merasa bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan
Keleluasaan pengambilan keputusan pada tingkat sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat mengoptimalkan pengelolaan sumber daya dengan mengalokasikan sesuai dengan prioritas program serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat yang ditunjang dengan sistem pendukung seperti keterampilan mengelola (managereial skill), keterampilan memperoleh dan memberikan informasi (informatical skill), serta bertumpu pada kerjasama dengan masyarakat (community based realtion).
Pelaksanaan manajeman berbasis sekolah dan masyarakat menekankan pada beberapa batasan yaitu 1) pengelolaan sekolah, 2) pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), serta 3) peningkatan peran serta masyarakat dalam mendukung program sekolah. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat meliputi empat pilar penting yaitu: 1) pilar mutu, 2) kemandirian, 3) partisipasi, dan 4) pilar transparansi.
Kemudian, pertanyaannya: apakah penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (School Base Management) sudah berjalan sesuai konsep dan kepentingan masyarakat dan daerah?
Sinergi Program Musi Rawas Darussalam
Duet kepemimpinan Bupati H. Ridwan Mukti dan Wakil Bupati H. Hendra Gunawan di kabupaten Musi Rawas mengusung visi “Terwujudnya Bumi Agropolitan dan Gerbang Investasi Menuju Musi Rawas Darussalam” Dimana salah satu program prioritasnya adalah Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat melalui peningkatan kualitas pendidikan (lihat Visi dan Misi Cabub dan Cawabub Musi Rawas Periode 2010 – 2015). Meskipun di dalamnya tidak ditemukan penjabaran yang lebih gamblang dan utuh (baik dalam bentuk diksi) terhadap perwujudan program Musi Rawas Darussalam.
. Diksi Darussalam (Negeri yang damai) yang diadopsi dari bahasa Arab secara tidak langsung telah membahasaan akan dimunculkannya peradaban Islam. Tentunya peradaban ini dinanti oleh sebagian besar masyarakat (muslim) Musi Rawas. Ultimate goal dari pemerintah adalah untuk membentengi masyarakat (moral dan prilaku) dengan nilai-nilai agama terhadap bahaya dari dampak negatif globalisasi sedangkan final goal-nya adalah melahirkan peradaban yang damai dalam kerangka NKRI.
Selama ini pelaksanaan program mulia itu diterapkan secara eksklusif. Yaitu program khatam Al-Quran dan Insetif Guru Mengaji. Penerapan program yang didukung dengan dana ratusan bahkan miliaran rupiah (sebagai political will) tersebut masih terlihat berjalan ‘loyo’ kalau tak ingin dikatakan ’duduk di tempat’. Bahkan tak jarang sasues yang muncul adalah sering terjadi manipulasi data pada jumlah guru ngaji yang menerima insentif. Hendaknya program ini diterapkan juga secara inklisif. Membangun asosiasi pemikiran dari kalangan ulama cendikia dan cendikia ulama. Teksture dan substansi Musi Rawas Darussalam mesti dirumuskan sebagai new design society atau sebagai bentuk rekayasa sosial dalam lingkup yang lebih kecil yang mudah dipahami oleh masyarakat. Paling tidak menjadi tarikan dan percikan ideologi segar pembangunan daerah. Rancang bangun Mura Darussalam yang dibuat harus menyentuh titik dasar persoalan. Sehingga program ini tidak hanya menjadi ’pewarna’ atau pembukaan (teknis) bagi agenda pembangunan namun jauh lebih penting sebagai akar dan batang tubuhnya.
Sebenarnya, ada dua jalan yang dapat dilakukan dalam mewujudkan program tersebut. Yaitu, pertama melalui berbagai piranti keagamaan (Islam) dan kedua, melalui penyelengaraan pendidikan (sekolah). Penyelenggaraan pendidikan yang selama ini tampak sebagai jasad berjalan mesti segera ditemukan dengan kemana ruh-nya melangkah. Ruh dari pendidikan adalah sistem nilai atau sistem moral dan budaya yang beradab dan bermartabat. Program Mura Darussalam dapat saja menjadi ruh-nya penyelengaraan otonomi pendidikan. Tentunya hal ini harus ”dibidani’ dengan cerdas, cermat, dan cekat.
Kabupaten Musi Rawas yang baru memiliki sarana pendidikan sebanyak: TK 128 unit, SD 420 unit, SMP 73 unit, SMA 26 Unit, dan beberapa Perguruan Tinggi yang masih bertengger di wilayah Kota Lubuklinggau yang tersebar di 21 kecamatan merupakan modal awal yang dapat dijadikan sasaran utama dari program tersebut. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat disinergikan dengan agenda pembangunan daerah. Papan tulis–papan tulis di sekolah juga tidak boleh lepas dari persoalan kehidupan. Karena tujuan empiris dari pendidikan adalah memenuhi dan mewujudkan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Melakukan sinergi pembangunan antara penyelengaraan otonomi pendidikan dengan program Musi Rawas Darussalam hendaknya menjadi diskursus daerah kekinian. Mensubstitusi substansi darussalam ke dalam proses pembelajaran dalam bentuk kurikulum (muatan lokal) dan kegiatan di kelas- kelas sekolah dan masjid. Pemerintah dan semua komponen masyarakat harus terus membangun kesadaran prediktif akan gilasan akibat dan teror dari neoliberalisme yang duduk manis dalam boncengan globalisasi. Kesadaran prediktif itu telah ada dalam pendidikan dan agenda perwujudan darussalam. Namun juga harus dijalankan dengan badan tegap dan kepala tegak. Meminjam bahasa WS. Rendra ’segera merumuskan keadaan dan kemauannya’ sendiri. Jika tidak mau dikemudian hari menjadi mimpi buruk bagi generasi selanjutnya. Semoga!!!
Lubuklinggau, 9 Desember 2010
Penulis,
AGUS MARIYANTO
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar