Total Tayangan Halaman

Minggu, 12 Desember 2010

STREET CRIME, SEBAGAI PROBLEMATIKA SOSIAL DI NEGARA BERKEMBANG

Oleh: Agus M.

Prolog

Dalam tata peradaban dunia di abad 21 Indonesia masih berada pada kelas dunia ketiga. Jika tidak inggin disebut sebagai negara miskin atau tertinggal lebih elegan dipandang sebagai negara berkembang. Negara berkembang merupakan negara yang selalu menjadi objek bagi negara maju untuk melancarkan invasi dan agenda imperialismenya guna mendapatkan sokongan dan pasokan bahan pangan bagi negara maju.

Negara berkembang adalah negara yang belum memiliki kemantapan sistem ekonomi, politik, hukum, demokrasi, pendidikan dan sebagainya. Dimana kemiskinan dan kebodohan masih memadati sudut-sudut wilayah tanah air. Persoalan pengangguran dan kriminalitas yang tinggi sepertinya telah menjadi rubrik dan menu harian dalam setiap penyajian informasi kepada publik.

Tak heran jika setiap media elektronik dan cetak mengemasnya dalam sebuah berita yang selalu membuat rakyat dan pemerintah terus ‘mengurut dada’. Contohnya seperti: Patroli, Sidik, TKP, Buser, dan lain sebagainya. Dimana tayangan-tayangan tersebut selalu menampilkan fenomena kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat. Baik itu kejahatan yang terjadi di gedung-gedung mewah sampai kepada kejahatan yang terjadi di jalanan dan kolong jembatan.

Kejahatan jalanan (street crime) telah menjadi persoalan sosial yang sulit diatasi oleh negara yang belum memiliki supremasi hukum yang baik, seperti halnya negara Indonesia. Modus operandi dari street crime adalah persoalan perut. Yaitu persoalan kemiskinan (kelaparan) yang belum dapat diatas oleh pemerintah. Meskipun negara telah menjamin di dalam UUD NKRI 1945 pasal 34 yaitu “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” Problematika bangsa yang begitu akut ini membuat negara Indonesia susah untuk menaikkan kelasnya dalam percaturan internasional. Sehingga pemerintah hendaknya segera mencarikan solusi tersendiri yaitu dengan mengeluarkan kebijakan yang menjamin lahirnya kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh warga bangsa.

Selain itu, sumberdaya manusia (SDM) yang masih manjadi kendala utama untuk menjadi sebuah negara maju belum tertangani secara serius. Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi instrument dalam membangun dan mengembangkan SDM (Human Resourches Development) belum mampu menjawab tantangan global, otonomi daerah, desentralisasi pendidikan guna pengembangan pendidikan yang relevan dengan lingkungan kehidupan masyarakat.

Kondisi ini ditunjukkan oleh Human Development Index (HDI) menyebutkan bahwa Indonesia berada pada posisi 107 dari 175 negara di dunia. Maka negara berkewajiban membangun masyarakat berpengetahuan (masyarakat informasi/ masyarakat ICT) dan masyarakat yang sehat sebagai modal menjadi negara maju. Demi perwujudan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Permasalahan Bangsa adalah Peluang Kemajuan Negara

Piter F. Drucker menyatakan sebuah negara bisa keluar dari semua persoalan dan krisis yang terjadi, jika negara tersebut menjadikan permasalahan-permasalahan bangsanya sebagai peluang untuk menciptakan quantum kemajuan. Bukan malah menjadikannya sebagai beban. Pernyataan Drucker tersebut telah menyadarkan bagi masyarakat bangsa yang setiap saat selalu ‘menggunjing’ tentang kejelekan-kejelekan yang ada dalam negaranya. Karena hal itu, tanpa disadari dapat menyebabkan tumbuhnya disintegrasi laten bagi bangsa. Yaitu hilangnya kepercayaan rakyat pada penyelenggara negara.

Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang memiliki problematika sosial yang tinggi, seperti halnya kejahatan jalanan yang selalu menghantui masyarakat. Kejahatan yang berupa perampokan, pencurian, pembunuhan, perkosaan, penipuan, tindakan premanisme, serta meningkatnya jumlah gelandangan dan pengemis perkotaan. Fenomena kejahatan di masyarakat itu telah memenuhi ruang kognitif kita.

Sehingga melahirkan persepsi bahwa negara kita seperti negara yang tidak beradab dan berbudaya. Problematika sosial yang berupa street crime tersebut, sebagian besar dilakukankan oleh masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan kehidupan ekonomi yang rendah. Disinilah seharusnya perhatian pemerintah difokuskan dan ada kemauan yang kuat (political will) dalam mengimplementasikan amanah konstitusi.

Peran lembaga penegakan hukum sebagai bagian dari tanggung jawab negara mesti ditingkatkan. Tindakan-tindakan represif dan pemberian sanksi kepada pelaku kejahatan jalanan yang diterapkan oleh aparat tidak menimbulkan efek jera dan kesadaran. Justru semakin sukses aparat membekuk pelaku kejahatan, maka semakin menjamur kejahatan di masyarakat. Itu terjadi karena penjara tidak mampu menyadarkan, alih-alih dapat melatih oknum menjadi lebih keji dan hilang prikemanusiaannya.

Dimana kehidupan dalam lingkungan yang lebih keras (baca: penjara) ketimbang di masyarakat semakin menambah variasi modus kejahatan yang terjadi. Selain itu, predikat sebagai mantan narapidana tidak lagi menjadi hukum sosial yang efektif sehingga warga dapat saja keluar masuk penjara tanpa peduli dengan statusnya. Dengan kondisi tersebut, maka peran-peran pembinaan dan penciptaan lapangan kerja bagi mantan narapidana merupakan solusi yang efektif.

Indonesia adalah Negara Berbudaya dan Bersumberdaya untuk menjadi Adidaya

Edwart B. Tylor mengemukakan budaya sebagai ‘the complex whole which includes knowledge. belief, art, morals, law, costum, and anyother capabilities and habits acquired by man as a member of society” Yaitu sekumpulan pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum dan adaptasi, kapabilitas dan kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota perkumpulan atau komunitas tertentu.

Dan dalam sosiologi kerap diterjemahkan sebagai kumpulan symbol, mitos, dan ritual yang penting dalam memahami sebuah realitas social. Inilah yang dimaksudkan Comte dalam tafsir fisika social (1839-1924) sebagai cara pandang terhadap masyarakat sebagai sesuatu hal yang bersifat mekanis dengan ciri-cirinya yang linier, statis, eksperimental dan terkuantifikasi. Dimana variabel-variabel tersebut menjadi pilar penting dan karakteristik bagi komunitas tersebut.

Indonesia sebagai sebuah komunitas besar tentunya memiliki realitas yang kompleks. Luas wilayah yang terbentang dari Meraoke sampai Sabang tidak kurang dari 18.000 pulau dan lima kepulauan besar. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia serta sumberdaya alam yang melimpah. Tetapi justru menimbulkan dan memiliki permasalahan yang juga semakin kompleks yang alih-alih dapat memicu chaos di dalam masyarakat. Harmoni sosial yang ‘digadang-gadangkan’ serta yang diharapkan oleh masyarakat tidak kunjung terwujud.

Dengan membangun civil society yang kuat diharapkan negara dapat segera keluar dari krisis multidimensi yang terjadi. Potensi dan sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki negara belum dapat dikelola dengan baik. Kemampuan pemerintah dalam memanej potensi negeri mesti ditingkatkan. Pembangunan masyarakat dapat dilakukan dengan cara melakukan investasi human capital.

Menyitir apa yang dikemukakan oleh Fukuyama, bahwa untuk melakukan state bilding, maka negara harus memiliki scobe dan fungsi otoritas yang efektif. Tugas negara adalah menciptakan dan menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya. Sehingga predikat sebagai negara berkembang adalah posisi strategis untuk dapat menaikkan kelas menjadi negara maju (adidaya). Kunci utamanya adalah membangun kedaulatan di seluruh sektor dan sendi kehidupan bangsa.

Kemudian, di awal tahun 2010 Indonesia sedang berada dalam gerak dinamis hubungan internasional yang secara teoritik memadukan dunia sebagai sebuah “meja bilyard” dimana aktor-aktor negara dan bukan negara berbenturan satu sama lain agar tetap survive (pendekatan realis) dan dalam pendekatan idealis dan konstruktivis merupakan sebuah “global village” yang aktor-aktornya saling bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih baik, lebih aman, dan lebih maju, (Ikrar N.B, 2009). Pemberlakukan Asean-China Free Thead Area menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi Indonesia guna memperjuangkan kepentingan nasional (nasional interest) di fora internasional. Jika negara mampu mengembalikan peran dan fungsinya, maka dapat dipastikan kita dapat segera mengakhiri sebutan sebagai negara berkembang.

Peran Pemuda sebagai Solusi untuk Problematika Sosial (Street Crime)

Dalam perjalanan sejarah bangsa peran pemuda tidak pernah absen, mereka selalu hadir dan mengawali setiap perubahan sosial yang terjadi. Mulai dari periode pra-agraris, agraris, industri dan era informasi (global) peran pemuda selalu memberikan kontribusi tersendiri. Bicara masa depan bangsa adalah membicarakan pemuda itu sendiri. Problematika sosial yang telah dipaparkan di atas didominasi oleh mereka yang memiliki usia relatif muda. Itu sebabnya problem-problem sosial yang terjadi sebagian besar adalah problem bagi pemuda yang belum mempunyai gambaran masa depan yang jelas.

Disinilah seharusnya peran pemuda kembali dihadirkan. Pemuda harus memiliki kesadaran kolektif sebagai modal kebangkitan pemuda masa kini. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemuda sebagai solusi bagi problematika sosial yang terjadi, yaitu:

1. Meningkatkan produktifitas diri dalam menjawab makna usia produktif.
2. Meningkatkan kualitas diri (SDM) serta membangun karakter kebangsaan yang kuat .
3. Mengakhiri politik praktis dan hedonisme serta rasa pesimis yang berkepanjangan ini, dengan cara membangun kemandirian pemuda di berbagai sektor kehidupan. Seperti melahirkan kemauan dan semangat enterpreneurship.
4. Melatih dan mengkader jiwa kepemimpinan yang tangguh dan visioner bagi pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab atas amanah kemerdekaan.
5. Membangun relasi nasional dan internasional dalam dunia kepemudaan sebagai modal memajukan dan memperkuat posisi negara di fora internasional.
6. Mempelopori lahirnya masyarakat pengetahuan dan masyarakat sadar hukum sebagai upaya menciptakan civil society yang kuat.

Beberapa item tersebut merupakan tawaran-tawaran solusi yang dapat dilakukan oleh pemuda. Dalam rangka menghapuskan problematika sosial yang terjadi di negara berkembang seperti Negara Indonesia. Pemuda bukanlah tidak mampu untuk mewujudkannya, tetapi hilangnya kemauan pemuda untuk melakukan semua itu.

Maka nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme yang selama ini merajut potensi para pemuda mesti disulam dan dijahit kembali. Kedepan tidak ada yang dapat menjaga martabat merah putih, kecuali pemuda sadar dengan masa depan bangsanya. Waullah bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar