Total Tayangan Halaman

Selasa, 18 Januari 2011

REINVENTING KESADARAN GEOGRAFI

Oleh: Agus Mariyanto

Di saat menekuni buku Indonesia Betrayed; How Deveopment Fails (Indonesia Dikhianati) garapan Elizabeth Fuller Collins (2008), juga mengamaiti proses peradilan atas sengketa perbatasan yang berefek pada kepemilikan Sumur Minyak Gas Bumi Suban IV antara Kabupaten Musi Rawas dengan Kabupaten Musi Banyuasin, serta membaca lagi opini “Kesadaran Geografi Kita” karya Sri-Edi Swasono di Kompas (17 April 2007) membentak ingatan sadar geografi. Inilah desentralisasi yang dibajak neoliberalisasi.

Ketika tulisan ini dibuat, saya berada di antara 499.238 jiwa di daerah yang terletak pada 2°,20’00’ - 3°,38’00” LS dan 102°,07’00’’ – 103°,40’10” BT dengan ketinggian 129 m dari permukaan laut dan luasnya ±1.236.582,66 Ha. Daerah dengan kondisi 66,5% dataran rendah dengan tekstur 62,75% tanah liat, merupakan daerah tropis basah dengan curah hujan antar 2500 sampai 3000 mm/tahun, memiliki kelembapan udara rata-rata 87,00% temperatur rata-rata 27°C dengan penyinaran matahari 61,9%. Yaitu salah satu daerah terluas di provinsi Sumatera Selatan dimana sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Sarolangun (Provinsi Jambi), sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Empat Lawang, sebelah Barat berbatasan dengan Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Rejang Lebong (Provinsi Bengkulu) serta sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Muara Enim. Memiliki wilayah administrasi pemerintahan yang terdiri dari 21 Kecamatan, 258 desa dan 19 kelurahan. Daerah ini dinamai Kabupaten Musi Rawas dengan ibukota di Muara Beliti.

Mungkin, jika kita menanyakan posisi setiap orang dimana dia berada dengan menggunakan data geografis (ilmu bumi) tentulah tak akan bisa menyebutkan posisinya dan akibatnya orang tidak dapat menemukannya. Sebab tak mungkin kemana-mana membawa peta dan apa lagi sampai membacanya. Kadang, untuk sekedar menyebutkan arah mata angin pun kita harus melihat bayangan matahari itu pun kalau tidak hujan atau mencari masjid terdekat karena juga setiap hari kita tak membawa kompas (kecuali jam tangan berkompas).

Teritori yang samar

Kondisi ini terjadi pada umumnya masyarakat kita. Kondisi yang juga pernah memprihatinkan bagi Sri-Edi Swasono saat mengasuh kuliah subtopik ”Interdependensi ekonomi” di kelas semester ke-8 pada sebuah universitas terkemuka di Jakarta. Bagaimana mungkin para mahasiswa tidak mengenal Laut Sawu, Teluk Tomini, Morotai, Sorong, Timika, dan lokasi geografis lain guna membangun pola-pola interdependensi ekonomi yang akan di bahas dalam kelas. Di tanyakan pula di mana Bima, Waingapu, Maumere, Ende, Larantuka, Miangas, dan Rote? Duga sangka terhadap mahasiswa tersebut, apakah para mahasiswa ”buta” ilmu bumi Indonesia? Dan memang hasilnya positif.

Kemudia setelah dikumpulkannya delapan peta (atlas). Ada yang berjudul Atlas Lengkap (untuk sekolah dasar), Atlas Dunia (untuk SD, SLTP, dan SMU) Atlas Indonesia dan Dunia; Atlas Indonesia dan Dunia (untuk IPS); dan seterusnya. Dari penelusuran terhadap atlas-atlas tersebut ternyata atlas kita tidak tuntas, teritori Indonesia tidak diutuhkan. Pada umumnya hanya di atlas lama (terbitan 1994 ke bawah) yang masih memuat nama-nama pulau di atas. Yang lebih memalukan lagi adalah Pulau Miangas justru tertera jelas di peta dinding yang terpancang di ruang kerja Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta. Mungkin saja nasib Pulau Miangas akan sama dengan Pulau Sipadan dan Ligitan.

Pertanyaannya: Apakah peta (atlas) Indonesia masih ada dan masih dipelajari di sekolah-sekolah, kampus, kantor-kantor, rumah kita? Apakah juga dimuat peta (atlas) kabupaten/daerah kita? Apakah murid-murid di sekolah dan mahasiswa kita tahu batas-batas daerah dan negaranya? Apakah murid-murid sekolah yang berada di daerah ini sudah lancar menyebutkan nama-nama kecamatan dan desa yang ada di wilayahnya? Kenapa kita tidak malu jika dikatakan daerah kita tidak ada (ditemukan) dalam peta Indonesia? Lalu, setelah ada sengketa (pencaplokan) batas-batas wilayah kita baru sadar, kenapa kita tidak mempelajari peta (atlas) secara serius dan mengeceknya secara langsung sejak dari bangku sekolah?

Hegemoni Akademis
Bagi saya, apabila bangsa kita seperti kondisi kelas yang dituliskan Sri-Edi Swasono pada Kompas (2007), adalah suatu pelumpuhan sempurna (a complete disempowerment) atas suatu bangsa. Hegemoni akademis telah terjadi di sekolah dan kampus-kampus kita. Dikotomi Ilmu pengetahuan antara Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial telah membius kesadaran geografi kita. Bahkan jam mata pelajaran geografi (ilmu bumi) semakin di kurangi dan fatalnya mata pelajaran ini tidak masuk dalam Ujian Nasional. Bagaimana mungkin, kita dapat mengenal Indonesia dengan utuh bila sejak dibangku sekolah kita tidak dikenalkan dengan ilmu bumi Indonesia. Bagaimana mungkin, kita bisa mengelola seluruh sumber daya alam yang kita punya, jika letak dan posisi wilayahnya pun kita tidak tahu.

Ada kecenderungan laten sejak lama kurikulum telah membentuk manusia-manusia elite yang ambivalen, menjadikan pelajar ”orang barat di Timur” atau ”orang Timur yang ke-Barat-Barat-an”, yang lengah akan ideologi dan kesadaran nasionalnya. Gelombang modernisasi barat adalah ’bedak pupur’ yang mesti dicermati dampaknya. Istilah borderless memang amapuh untuk mengamarkan kesadaran geografi kita.

Bagi Indonesia yang berideologi Pancasila, yang multikulturalistik dan bermanifesto Bhineka Tunggal Ika, hegemoni akademis yang mengubur cita-cita (visi dan misi kemerdekaan) adalah upaya merongrong perjalanan sejarah bangsa. Upaya melumpuhkan kesadaran geografi pelajar dan mahasiswa oleh semacam ”kurkulum modern” yang mendikte agar sejarah dan ilmu bumi Indonesia tak perlu benar-benar telah diajarkan. Mereka adalah warga negara Indonesia yang tidak dikenalkan prinsip ksatria sedumuk bathuk, senyari bumi.

Bagaimana bangsa kita lengah dan mudah dilumpuhkan melalui skenario akademik semacam ini? Ataukah ini sekedar absurditas atau ketumpulan budaya? Bagaimana nasionalisme bisa direvitalisasi tanpa ada kesadaran teritorial? Bagaimana nasionalisme bisa berkembang bila pemimpin menjuali kedaulatan negara (Indosat, tanah terkontrak tambang dan lainnya)?

Reinventing Kesadaran Geografi VS Resource Wars
Desentralisasi merupakan gejala kompleks yang melibatkan faktor geografis, pelaku sosial dan sektor-sektor sosial. Keseluruhan geografis meliputi internasional, nasional, sub nasional, dan lokal. Pelaku-pelaku sosial meliputi pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil. Sektor-sektor sosial meliputi semua bidang pembangunan politik, sosial, budaya dan lingkungan. Desentralisasi (otonomi) dikelola dalam alam sadar teritori. Kompleksitas persolaan desentralisasi bukan hanya pada wilayah aturan, demokratisasi dan soal bagi hasil. Adalah sepenuhnya sadar kedaulatan tentang potensi geografis daerah yang dikelola dengan nasionalisme. Sebab bangsa luar bisa melintas bebas menguasi daerah kaya sumber daya, lalu kita sadar setelah kita kehilangan semuanya.

Reinventing kesadaran geografi adalah sebuah keharusan. Peta (atlas) Indonesia dan khususnya daerah (kabupaten/kota) dimana kita hidup dan tinggal harus mulai pelajari kembali di sekolah dan kampus. Mata pelajaran geografi (ilmu bumi) mesti menjadi pokok bahasan yang utama. Para pelajar (SD, SMP,SMA/sederajat) harus mulai dikenalkan dengan potensi alam yang terkandung di daerah melalui sekolah/wisata bumi (alam) untuk melatih kecapan geografi. Sebab masyarakat kita adalah masyarakat agraris. Menemukan kembali dan mengembangkan (reinventing) kesadaran geografi kita dengan rumus semestakung (alam semesta mendukung) sebagai sumber belajar yang paling mungkin dilakukan.

Sebelum kasus-kasus pencaplokan wilayah (seperti: kasus Marga Benakat VS PT MHP, Penduduk Pelawe, Penduduk Rambang Lubai, dan kini Suban IV) menjadi domain persoalan desentralisasi atas pembajakan kapitalisme neoliberal. Seperti hasil riset yang telah paparkan Elizabeth Fuller Collins, kondisi Indonesia dikhianati (Indonesia Betrayed) dengan mengambil sample Provinsi Sumatera Selatan.
Perang kekayaan alam (resource war) yang gamblang digambarkan Klare (2002) cukup mengerikan. A Lowrie (2002) memberikan pengutan, doktrin resource scarcity sedang bergeser menjadi doktrin ”negara bandit” (regue state doctrine). Kita dirampok para Herrenvolker, bangsa adidaya ekonomi, yang menggandeng pasar bebas, meminjam tanda tangan (cap jempol) para pemimpin yang dengan mudah menjarah kekayaan alam kita. Kemudian setelah kekayaan alam itu mulai akan habis kita hanya disisai persoalan persengketaan tanah (diadu domba) dengan sesama warga negara Indonesia.

Padahal konstitusi sudah mengamanahi bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (UUD NKRI 1945 Pasal 33, ayat 3). Untuk mengetahui di mana letak bumi dan air dan kekayaan alam itu haruslah dengan kesadaran geografi. Peta-peta Indonesia yang tidak utuh harus egera ditarik kembali. Para penyusun tidak boleh mengkhianti dan menjerumuskan anak-anak dengan memperdagangkan atlas semacam itu. Sekolah-sekolah harus memiliki dan mengajarkan peta daerahnya masing-masing. Wisata nusantara antarpulau, antardaerah bagi bapak/ibu guru dan murid perlu segera dipromosikan dengan dana masysrakat, APBD, APBN. Agar manusia Indonesia menguasai dan mengetahui kelokalannya dan mengglobal wawasannya. Serta tidak mudah ditipu para boneka kapitalisme neoliberal. Semoga!!!

Musi Rawas, 5 Januari 2011
Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Manajemen Pendidikan UNJ

Relasi Kekuasaan dalam Pendidikan

Sesudah sejak tahun 60-an Bereday mengemukakan mengenai krisis pendidikan di dunia karena meledaknya tuntutan untuk memperoleh pendidikan dari negara-negara yang baru merdeka. Pengamatan seorang ahli sosiologi dan pendidikan sebelum PD II memaparkan bahwa pendidikan akan merupakan dinamit dalam revolusi kemerdekaan dari negara-negara terjajah.

Dewasa ini pendidikan di negara-negara berkembang mengalami revolusi. Bukan hanya pendidikan merupakan kewajiban dari pemerintah yang diakui sebagai salah satu hak asasi manusia tetapi telah merupakan suatu tuntutan dari setiap negara modern. Kewajiban belajar telah merupakan suatu keputusan bersama umat manusia (education for all)[1] dan tuntutan tersebut bukan hanya merupakan tuntutan formal, tetapi juga tuntutan perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut.

Bahkan, berbagai perubahan di dunia dipelopori oleh perubahan dari lingkungan pendidikan formal, seperti pemberontakan mahasiswa Prancis tahun 1968 yang mengubah kehidupan politk, sosial, bahkan kebudayaan dari masayarakat Prancis. Di Indonesia perjuangan kemerdekaan yang dimulai oleh kaum terpelajar pada tahun 1908 hingga hadirnya kemerdekaan pada tahun 1945. kita mengenal dengan kepeloporan mahasiswa yang telah merobek-robek kekuatan diktator, baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Gerakan pembaharuan mahasiswa telah merubah wajah negara dari totaliter menuju demokratis. Dalam bidang pendidikan nonformal kita melihat perubahan wajah dari bentuknya sebagai kursur-kursus yang berdiri sendiri menjadi lembaga-lembaga pelatihan yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan tenaga kerja terampil.

Kekuasaan dan Pendidikan
Terdapat kaitan yang erat antara kekuasaan dan pendidikan. Kekuasaan mempunyai tempat dalam ruang dan proses pendidikan. Justru karena adanya kekuasaan itulah terjadi proses pendidikan. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian.

Pengertian kekuasaan dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan sebagaiman kita lihat sehari-hari. Kekuasaan di dalam pendidikan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu 1) kekuasaan yang transformatis; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan transformatif tujuannya ialah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi adalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif.

Sedangkan proses kekuasan sebagai transmitif terjadi proses tranmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan itu sendiri. Orientasi kekuasan ini lebih bersifat orientasi legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat robotik karena sekedar menerima atau dituangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang bersangkutan. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai proses sistem bank (banking system). Fakta ini didukung dengan keberadaan Sistem Pendidikan Nasional yang kita miliki dengan berbagai intervensi dan rekayasa yang terjadi. Dan yang ada adalah bagaimana kekuasaan dapat dilanggengkan.

Kondisi yang sama juga terjadi di tingkat lokal (kabupaten/kota) setelah penerapan desentralisasi dalam pendidikan. Kepala daerah sering menjadikan institusi sekolah sebagai wahana dan sarana politik kekuasaan. Hal ini didukung oleh adanya fenomena mutasi kepala sekolah atau guru yang dilakukan oleh bupati atau walikota tanpa menjelaskan alasan secara transparan. Sehingga keberadaan tenaga pendidik seperti bidak catur yang kapan saja bisa digeser dan ditukar.

Pergeseran terhadap Tujuan Pendidikan
Kuatnya cengkraman kekuasaan yang ada dalam lingkungan pendidikan menyebabkan proses belajar berjalan dalam suasana tidak menentu. Manusia pendidik (guru) kehilangan kebebasannya dalam melakukan kreativitas pembelajaran. Sebab banyaknya aturan yang memasung ruang ekspresi belajar. Belajar mestinya sama alamiyahnya dengan bernafas. Pendidikan hendaknya tidak lagi dimaknai sebagai upaya sistematis untuk menyiapkan pelajar menghadapi masa depannya, tetapi sebagai kegiatan memfasilitasi para pelajar menggali potensi untuk merangkai mara depan. Sehingga pendidikan tidak boleh bertentangan dengan kehendak Tuhan yaitu bahwa anak didik adalah hasil Maha Karya-Nya harus dioptimalkan potensi positifnya. Seperti yang menjadi tujuan Pendidikan Nasional dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS yaitu "Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".

Indikasi pergeseran itu menjadi tampak jelas. Dimana posisi struktural dan fungsional dalam institusi pendidikan kita sudah menjadi ajang rebutan jabatan. Ketika jabatan itu berada di pundak maka yang sering terjadi adalah menjalankan fungsi dan wewenang sebagai sebuah kekuasaan. Kondisi ini tentunya akan menggeser tujuan pendidikan kita. Semisal Kepala Sekolah dapat saja diganti dalam hitungan bulan, Kepala Dinas dan pejabat struktural pendidikan dapat diganti oleh Kepala daerah tanpa mengetahui kompetensinya dalam pendidikan dan menguasai hakikat pendidikan. Yang bahaya adalah menilai kehendak diri dianggap sebagai sebuah tafsir atas peraturan-peraturan dan undang-undang dalam pendidikan. Atau melahirkan aturan-aturan baru yang membentur aturan diatasnya (pokok).

Kenyataan ini yang terjadi di Kota Lubuk Linggau. Para siswa harus menjadi korban dari praktek kekuasaan yang dijalankan Kadisidik Kota Lubuk Linggau. Nalar kritis dan kesadaran para siswa dan guru telah melahirkan gelombang aksi dan protes pada kebijakan rolling guru yang dirancang oleh pemerintah. Bagaimana tidak jadwal Ujian Nasional sudah semakin dekat namun konsentrasi para guru, kepala sekolah dan siswa diganggu dengan aturan-aturan yang irasional. Fatalnya kebijakan ini diakibatkan oleh Kadisdik yang tidak paham dengan hakikan pendidikan, yang dipahami adalah bagaimana menjalankan kekuasaan. Jika keadaan ini terus dibiarkan maka masa depan pendidikan dan proses pembelajaran di kota Lubuk Linggau akan rusak. Sebab virus-virus kekuasaan atas prakrek politik praktis disebarkan di bangku-bangku sekolah (bangku berbudi dan suci).

Proses pembelajaran harus berjalan sesuai dengan kebutuhan dan potensi di masyarakat serta bergerak secara alamiah. Intervensi kekuasaan yang berlebihan bisa jadi menggeser tujuan pendidikan nasional kita. Sebab tujuan pendidikan hanya akan menjadi tujuan perorangan atau golongan dan bertentangan dengan tujuan serta hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Dominasi kekuasaan dalam pendidikan hanya akan menghadirkan masa depan suram bagi pendidikan kita dan tenaga pendidik (guru) pada titik tertentu akan mengalami kelesuan dan kejenuhan akibat cengkraman kekuasaan dalam pendidikan. Atmosfer yang ada ini mesti segera disadari bersama demi keberlangsungan pendidikan kita. Semoga!!



Lubuklinggau, 11 Januari 2011

Agus M.



[1] Konferensi PBB Pertama Education for All diadakan di Yomtien, Thailand, 1990.