Sesudah sejak tahun 60-an Bereday mengemukakan mengenai krisis pendidikan di dunia karena meledaknya tuntutan untuk memperoleh pendidikan dari negara-negara yang baru merdeka. Pengamatan seorang ahli sosiologi dan pendidikan sebelum PD II memaparkan bahwa pendidikan akan merupakan dinamit dalam revolusi kemerdekaan dari negara-negara terjajah.
Dewasa ini pendidikan di negara-negara berkembang mengalami revolusi. Bukan hanya pendidikan merupakan kewajiban dari pemerintah yang diakui sebagai salah satu hak asasi manusia tetapi telah merupakan suatu tuntutan dari setiap negara modern. Kewajiban belajar telah merupakan suatu keputusan bersama umat manusia (education for all)[1] dan tuntutan tersebut bukan hanya merupakan tuntutan formal, tetapi juga tuntutan perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut.
Bahkan, berbagai perubahan di dunia dipelopori oleh perubahan dari lingkungan pendidikan formal, seperti pemberontakan mahasiswa Prancis tahun 1968 yang mengubah kehidupan politk, sosial, bahkan kebudayaan dari masayarakat Prancis. Di Indonesia perjuangan kemerdekaan yang dimulai oleh kaum terpelajar pada tahun 1908 hingga hadirnya kemerdekaan pada tahun 1945. kita mengenal dengan kepeloporan mahasiswa yang telah merobek-robek kekuatan diktator, baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Gerakan pembaharuan mahasiswa telah merubah wajah negara dari totaliter menuju demokratis. Dalam bidang pendidikan nonformal kita melihat perubahan wajah dari bentuknya sebagai kursur-kursus yang berdiri sendiri menjadi lembaga-lembaga pelatihan yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan tenaga kerja terampil.
Kekuasaan dan Pendidikan
Terdapat kaitan yang erat antara kekuasaan dan pendidikan. Kekuasaan mempunyai tempat dalam ruang dan proses pendidikan. Justru karena adanya kekuasaan itulah terjadi proses pendidikan. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian.
Pengertian kekuasaan dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan sebagaiman kita lihat sehari-hari. Kekuasaan di dalam pendidikan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu 1) kekuasaan yang transformatis; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan transformatif tujuannya ialah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi adalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif.
Sedangkan proses kekuasan sebagai transmitif terjadi proses tranmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan itu sendiri. Orientasi kekuasan ini lebih bersifat orientasi legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat robotik karena sekedar menerima atau dituangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang bersangkutan. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai proses sistem bank (banking system). Fakta ini didukung dengan keberadaan Sistem Pendidikan Nasional yang kita miliki dengan berbagai intervensi dan rekayasa yang terjadi. Dan yang ada adalah bagaimana kekuasaan dapat dilanggengkan.
Kondisi yang sama juga terjadi di tingkat lokal (kabupaten/kota) setelah penerapan desentralisasi dalam pendidikan. Kepala daerah sering menjadikan institusi sekolah sebagai wahana dan sarana politik kekuasaan. Hal ini didukung oleh adanya fenomena mutasi kepala sekolah atau guru yang dilakukan oleh bupati atau walikota tanpa menjelaskan alasan secara transparan. Sehingga keberadaan tenaga pendidik seperti bidak catur yang kapan saja bisa digeser dan ditukar.
Pergeseran terhadap Tujuan Pendidikan
Kuatnya cengkraman kekuasaan yang ada dalam lingkungan pendidikan menyebabkan proses belajar berjalan dalam suasana tidak menentu. Manusia pendidik (guru) kehilangan kebebasannya dalam melakukan kreativitas pembelajaran. Sebab banyaknya aturan yang memasung ruang ekspresi belajar. Belajar mestinya sama alamiyahnya dengan bernafas. Pendidikan hendaknya tidak lagi dimaknai sebagai upaya sistematis untuk menyiapkan pelajar menghadapi masa depannya, tetapi sebagai kegiatan memfasilitasi para pelajar menggali potensi untuk merangkai mara depan. Sehingga pendidikan tidak boleh bertentangan dengan kehendak Tuhan yaitu bahwa anak didik adalah hasil Maha Karya-Nya harus dioptimalkan potensi positifnya. Seperti yang menjadi tujuan Pendidikan Nasional dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS yaitu "Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Indikasi pergeseran itu menjadi tampak jelas. Dimana posisi struktural dan fungsional dalam institusi pendidikan kita sudah menjadi ajang rebutan jabatan. Ketika jabatan itu berada di pundak maka yang sering terjadi adalah menjalankan fungsi dan wewenang sebagai sebuah kekuasaan. Kondisi ini tentunya akan menggeser tujuan pendidikan kita. Semisal Kepala Sekolah dapat saja diganti dalam hitungan bulan, Kepala Dinas dan pejabat struktural pendidikan dapat diganti oleh Kepala daerah tanpa mengetahui kompetensinya dalam pendidikan dan menguasai hakikat pendidikan. Yang bahaya adalah menilai kehendak diri dianggap sebagai sebuah tafsir atas peraturan-peraturan dan undang-undang dalam pendidikan. Atau melahirkan aturan-aturan baru yang membentur aturan diatasnya (pokok).
Kenyataan ini yang terjadi di Kota Lubuk Linggau. Para siswa harus menjadi korban dari praktek kekuasaan yang dijalankan Kadisidik Kota Lubuk Linggau. Nalar kritis dan kesadaran para siswa dan guru telah melahirkan gelombang aksi dan protes pada kebijakan rolling guru yang dirancang oleh pemerintah. Bagaimana tidak jadwal Ujian Nasional sudah semakin dekat namun konsentrasi para guru, kepala sekolah dan siswa diganggu dengan aturan-aturan yang irasional. Fatalnya kebijakan ini diakibatkan oleh Kadisdik yang tidak paham dengan hakikan pendidikan, yang dipahami adalah bagaimana menjalankan kekuasaan. Jika keadaan ini terus dibiarkan maka masa depan pendidikan dan proses pembelajaran di kota Lubuk Linggau akan rusak. Sebab virus-virus kekuasaan atas prakrek politik praktis disebarkan di bangku-bangku sekolah (bangku berbudi dan suci).
Proses pembelajaran harus berjalan sesuai dengan kebutuhan dan potensi di masyarakat serta bergerak secara alamiah. Intervensi kekuasaan yang berlebihan bisa jadi menggeser tujuan pendidikan nasional kita. Sebab tujuan pendidikan hanya akan menjadi tujuan perorangan atau golongan dan bertentangan dengan tujuan serta hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Dominasi kekuasaan dalam pendidikan hanya akan menghadirkan masa depan suram bagi pendidikan kita dan tenaga pendidik (guru) pada titik tertentu akan mengalami kelesuan dan kejenuhan akibat cengkraman kekuasaan dalam pendidikan. Atmosfer yang ada ini mesti segera disadari bersama demi keberlangsungan pendidikan kita. Semoga!!
Lubuklinggau, 11 Januari 2011
Agus M.
[1] Konferensi PBB Pertama Education for All diadakan di Yomtien, Thailand, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar